Tampilkan postingan dengan label petro dollar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label petro dollar. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Desember 2008

MASIH PANTASKAH KITA BERKIBLAT PADA MEREKA?

Ditengah banyaknya penduduk dunia yang terancam kelaparan, termasuk di AS yang mulai kelaparan sejak tahun 2007, disertai dengan kondisi krisis finansial global yang menggerogoti negeri-negeri di barat maupun di timur, terdapat suatu kawasan yang sepertinya tidak terlalu ambil pusing terhadap krisis. Kawasan itu berada di tengah-tengah belahan bumi antara barat dan timur, yaitu Timur Tengah.

Kawasan ini dahulu tandus dipenuhi padang pasir, namun berkat sumber daya alamnya yang kaya akan minyak dan gas bumi, kawasan ini menjadi makmur. Dari hasil eksploitasi migas mereka mendapatkan petro dollar yang berlimpah. Dari dana tersebut mereka dapat membangun kota-kota yang dulu hanyalah gurun pasir. Di gurun yang panas dan tandus, tidak banyak ditemukan oase. Air minum diperoleh dengan teknologi yang menggunakan prinsip reverse osmosis (kebalikan dari bikin telur asin), mereka olah air laut yang asin menjadi air tawar menyegarkan. Mereka bangun bendungan untuk mengalirkan air-air ke berbagai daerah dan melakukan berbagai macam cara agar daerah tersebut menjadi hijau dan layak huni. Lalu mereka bangun kota yang sangat modern di atasnya, real estate dan apartemen, gedung-dedung pencakar langit tercanggih dan hotel-hotel termewah di dunia.

Mari kita tengok salah satu negara di Middle East yang unik dan akhir-akhir ini selalu menggoncangkan dunia, Uni Emirat Arab (UEA). Perusahaan penerbangannya, Fly Emirates, pernah menjadi sponsor utama salah satu klub elit di Liga Inggris yang akrab dipanggil The Blues, Chelsea. Bahkan di tahun 2008, giliran Manchester City yang dibeli oleh konglomerat asal Ibukota UEA, Abu Dhabi.


Selain Abu Dhabi, berjalan sedikit ke timur laut terdapat sebuah kota lain di UEA yang juga penting kedudukannya bagi dunia, Dubai. Bahkan dari segi pesatnya kemajuan pembangunan, Dubai sebagai pusat perekonomian UEA lebih maju dari Ibukotanya sendiri.



Bayangkan tatkala rakyat Amerika mulai kelaparan, begitu pula negara barat dan timur kacau karena krisis, di Dubai pada bulan November 2008 lalu malah diresmikan sebuah hotel yang paling mewah di dunia. Hotel itu diberi nama “Atlantis, The Palm”. Ini adalah fotonya saat masih dalam masa pembangunan:



Dinamakan Atlantis karena hotel canggih dan mewah tersebut dibangun menjorok ke laut di lahan hasil reklamasi, sehingga mirip dengan dongeng negeri Atlantis.

Diberi istilah Palm karena areal tersebut banyak dihiasi dengan pepohonan jenis palem-paleman (family palmae). Bahkan apabila dilihat dari atas, seluruh hotel berada di sebuah pulau buatan yang didesain seperti layaknya sebuah pohon palem.

Indahnya, sugguh menakjubkan !
Saat diresmikan beberapa waktu lalu, lebih dari 2.000 selebretis top dunia menghadiri acara tersebut. Gak tanggung-tanggung peresmian dimeriahkan dengan pesta yang menghabiskan biaya 20 juta dollar AS, hanya untuk membakar kembang api. Konon pesta kembang abi itu adalah pesta kembang api terbesar abad ini, tepatnya 7x lebih besar dari pesta pembukaan Olimpiade di Beijing kemarin.

Hotel ini memiliki 1.539 kamar dengan tarif per malam sebesar 35,000 dollar AS. Dilengkapi dengan taman air yang terbesar di Timur Tengah dan akuarium raksasa yang dapat menampung 65.000 ikan. Lebih dari semua itu, pembangunan seluruh areal hotel memakan biaya 1,5 miliar dollar AS.

Sementara Hotel Atlantis diresmikan, di belahan bumi yang lain, tepatnya di Amerika, sejumlah petinggi dan pejabat dari berbagai negara tengah berkumpul dalam forum G-20 untuk membahas jalan keluar dari krisis finansial global. Usulan negara kita yang disampaikan oleh Presiden SBY saat itu, ternyata diterima dan disambut baik oleh sidang, yaitu bahwa diperlukan pembentukan lembaga investasi yang memiliki dana untuk penyelamatan krisis di berbagai negara.

Lembaga tersebut dikenal dengan istilah SWF (Sovereign Wealth Funds). Mudahnya SWF adalah lembaga keuangan yang mengelola ‘dana abadi’ untuk kesejahteraan dan tidak akan jatuh bangkrut/pailit (sovereign). Seperti diberitakan oleh Investor Daily tanggal 28 November 2008, bahwa di dunia telah terdapat beberapa SWF yang dibentuk. Ternyata SWF yang terbesar adalah SWF asal UEA, yaitu Abu dhaby Investment Authority yang memiliki dana untuk bantuan sebesar 875 miliar dollar AS, bahkan menurut sumber lain sudah mencapai 1,32 triliun dollar AS. Tercatat di nomor urut dua adalah SWF milik Norwegia, The Government Pension Fund of Norway yang memiliki dana sebesar 391 miliar dollar AS, atau hanya 30-40% dari milik Abu Dhabi. Dan berikutnya diikuti oleh SWF-SWF lain dengan dana yang lebih kecil.

Bandingkan dengan kita, cadangan devisa kita per akhir Oktober 2008 adalah sekitar 50,6 miliar dollar Amerika (5% dari SWF-nya Abu Dhabi). Jompang sekali ya?

Apa inti dari semua ini?
Bahwa
tatanan perekonomian dunia telah berubah. Untuk apa kita masih berkiblat ke negara-negara barat yang ternyat tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri? Untuk apa kita masih menganut sistem ekonomi yang ternyata tidak mampu menyelamatkan negara yang menciptakan dan memakai sistem tersebut? Oleh karena itu, sungguh tidak layak bagi kita Indonesia, jika ingin survive, apabila kita tetap berkiblat kepadanya.

Timur tengah kaya akan petro dollar, dan tentunya tidak sembarangan pihak dapat menarik dana berlimpah itu untuk menyelamatkan atau berinvestasi di negerinya, karena syarat mutlak dari negara-negara di Middle East adalah bahwa dana tersebut harus dikelola dengan prinsip syariah (sharia compliance).

Potensi Islamic Finance di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan rata-rata perbankan syariah di Indonesia lebih besar dari 50% per tahun. Bank-bank asing berlomba membuka bisnis unit syariah. Para investor asing saat ini sedang mengintip pasar di Indonesia untuk berlomba membuka layanan syariah. Namun kita masyarakatnya, masih saja tidur dan belum juga sadar bahwa kita adalah The Sleeping Giant of Islamic Finance in the World. Padahal begitu besar
potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dari dana yang dikelola secara Islamic Finance.

Inilah saatnya bangkit! Sebagai seorang praktisi Islamic Finance, saya menyerukan dan mengajak seluruh lapisan masyarakat, mari kita turut berpartisipasi dalam mengembangkan Islamic Finance, bergabunglah menjadi nasabah perbankan syariah, kunjungilah cabang-cabang bank syariah terdekat, dan bebaskanlah diri kita dari buruknya riba.

Senin, 13 Oktober 2008

POTENSI EKONOMI SYARIAH

Melanjutkan bahasan tentang petro dollar yang berlimpah di Timur Tengah, juga syarat bahwa pemilik dana tidak ingin dananya dikelola kecuali sesuai prinsip syariah, sudah barang tentu dengan jelas memperlihatkan potensi dari islamic finance di dunia pasca runtuhnya komunisme dan kapitalisme.

Disaat negara-negara barat kesulitan likuiditas, Timur Tengah adem ayem dengan pundi-pundi petro dollarnya. Terkait dengan pekerjaan saya sebagai seorang sharia bankers, beberapa hari berselang saya bertemu dengan para perwakilan dari sebuah islamic financial institution (lembaga keuangan yang menjalankan bisnisnya berdasarkan prinsip syariah) dari Timur Tengah, tepatnya dari Dubai. Saya terheran-heran tatkala krisis seperti ini ditengah perbankan konvensional yang berusaha mencari sumber atau pinjaman uang untuk memenuhi likuiditas, mereka malahsetengah’ memohon agar dana dalam dollar yang dapat dikategorikan besar itu dapat dikelola di Indonesia melalui perusahaan tempat saya bekerja.

Saat itu, sejenak saya merasa terhenyak dan berfikir:
Berhentilah memandang ke dunia barat, sudah saat nya kita semua ‘melek syariah’ !
Sudah saatnya kita semua belajar tentang ekonomi syariah!
Sudah saatnya kita semua berpartisipasi dan turut ambil bagian sesuai dengan porsi kita masing-masing!
Sudah saatnya kita optimalkan potensi islamic finance yang besar ini khususnya di Indonesia!

Wajar jika perwakilan dari islamic financial institution yang saya sebutkan di atas sangat ingin agar dana mereka dapat masuk ke sistem perbankan syariah di Indonesia. Sangatlah logis saya rasa karena:
(1) Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim,
(2) bahkan Indonesia merupakan the largest muslim country in the world, sehingga pasar untuk islamic finance terbentang luas.
(3) Negara kita kaya akan resources baik migas, maupun non-migas.
(4) tingkat return dari bisnis/proyek terkait di atas lebih kompetitif dibandingkan tingkat return di negara-negara maju.

Bayangkan jika perbankan syariah di tanah air yang tentunya di prakarsai Pemerintah berhasil membawa masuk sebagian (kecil) saja dari petro dollar itu ke Indonesia; lalu dana tersebut dikelola dengan sistem syariah untuk membiayai proyek-proyek strategis seperti migas, pertambangan, infrastruktur, pembangkit listrik, telekomunikasi, perkebunan, perikanan, perkapalan, dll. Dalam bayangan saya jika itu terjadi, kondisi negara kita insyaAllah dapat menjadi lebih baik.

Ambil contoh, Pemerintah sudah mencanangkan crash-program di bidang kelistrikan dengan menambah total kapasitas PLTU sebesar 10.000 MW. Saat ini biaya paling murah untuk membangun PLTU adalah ~ $1,5 juta/MW. Sehingga butuh dana $15 miliar untuk merealisasikan program tersebut yang tentu tidak seluruhnya dibiayai APBN.

Dengan skema syariah, Pemerintah dapat menerbitkan sukuk (surat berharga syariah) untuk membiayai proyek tersebut baik sukuk ijarah/sewa-beli maupun sukuk murabahah/jual-beli. Manfaatnya Jakarta akan terbebas dari pemadaman bergilir begitu juga dengan kota-kota besar lainnya, khususnya untuk saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan yang notabene adalah daerah sumber migas dan batubara (ironis memang). Supply listrik bagi dunia industri lebih terjamin sehingga juga akan menarik para investor untuk masuk ke Indonesia, bahkan kelebihan listrik (jika ada) dengan interkoneksi bisa dijual ke negara tetanga seperti Singapura dan Malaysia. Secara agregat, proyek tersebut juga dapat menghemat pengeluaran negara untuk listrik karena beralih dari PLTD (diesel fuel) menjadi PLTU (coal) yang ongkos per kwh-nya bisa terpangkas separuhnya.

Begitu pula untuk proyek-proyek di bidang lainnya, seperti di bidang migas dengan membangun oil refinery (yang sampai saat ini tidak mencukupi dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari) agar Indonesia dapat mengolah minyak mentahnya sendiri dan tidak perlu repot-repot menghabiskan duit untuk mengimpor minyak olahan (solar, premium, dll). Dengan oil refinery suatu saat Indonesia dapat menjadi net-exporter untuk migas dan menambah cadangan devisa.

Belum lagi potensi perkapalan yang dapat dibiayai dengan skema syariah. Tanker, cargo, bulk, chemical, tug & barges, crew boat, AHTS, dll yang potensinya begitu besar dan selama ini belum tergali. Padahal telah dikeluarkan Inpres No.5 untuk menerapkan asas cabotage, dimana kapal-kapal yang beroperasi di Indonesia wajib berbendera Indonesia. OPEX (operationg expenditure) atau budget yang dikeluarkan oleh perusahaan minyak dan batubara yang beroperasi di Indonesia untuk kebutuhan kapal bisa mencapai ratusan juta dollar per tahunnya. Jumlah tersebut selama ini dikuasai oleh kapal-kapal asing begitu pula dollarnya dibawa pergi ke negaranya. Sudah saatnya anak bangsa menguasai perkapalan dalam negeri, bukankah nenek moyangku seorang pelaut?
Menengok khususnya ke Sumatera , terbentang luas perkebunan kelapa sawit. Saat ini Indonesia berhasil menjadi ekportir terbesar minyak sawit/CPO (crude palm oil) di dunia, yang sebelumnya kita nomor dua setelah Malaysia. Ironisnya, CPO tersebut diimpor oleh negara-negara lain untuk diolah menjadi produk turunan seperti olein, stearin, menjadi bahan baku pembuatan sabun, minyak goreng, mentega, kosmetik, dll yang kemudian kita impor kembali ke dalam negeri dengan harga yang jauh lebih mahal. Bayangkan seandainya dengan skim syariah dan dana petro dollar Indonesia membangun tidak hanya PKS (Pabrik Kelapa Sawit) tapi ditingkatkan menjadi industri oleo-chemical, sehingga kita tidak hanya menghasilkan CPO tapi juga dapat membuat added value menjadi produk-produk turunannya sehingga harganya jauh lebih mahal.

Disamping itu semua, dan ini hal yang tidak bisa diukur dengan materi adalah bahwa negara kita bisa mulai membebaskan diri dari ketergantungan terhadap negara barat, baik secara finansial, diplomatik, maupun politik; tidak kah kita merasa lelah untuk selalu di-dikte dan menjadi pengikut mereka? serta membuat policy yang menguntungkan dan mengamankan kepentingan mereka namun menghimpit dan menyiksa raykat kecil?

Memang sih tidak semudah itu untuk mencapainya, tapi semua itu mungkin dilakukan. Seperti yang dilantunkan Nidji di soundtrack Laskar Pelangi :
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya

Jumat, 10 Oktober 2008

WAJAH BARU PEREKONOMIAN DUNIA

Krisis yang terjadi di tahun 2008 ini mulai mengubah peta perekonomian dunia. Dunia yang sudah diwarnai rontoknya komunisme yang diikuti dengan runtuhnya kapitalisme, sebentar lagi akan tampil dengan wajah barunya. Kita harapkan semoga akan menjadi lebih baik.
Siapa yang akan menguasai dunia setelah ini, adalah yang terpandai dalam memanfaatkan peluang.

Salah satu-nya adalah dengan mengetahui dimana pundi-pundi kekayaan berada, mampu menariknya, kemudian memanfaatkannya untuk kemakmuran.

Timur tengah yang kaya akan minyak sebagai sumber energi utama yang menjadi kebutuhan dasar negara-negara di dunia menjadi makmur karenanya, dan dapat menyulap gurun pasir yang tandus menjadi negara yang memiliki kota paling modern saat ini. Ambil contoh Mecca, Medina, Jedda, Kuwait, Bahrain, Abu Dhaby, Dubai, dll.

Dengan menjual minyaknya mereka memperoleh dollar yang berlimpah, yang dikenal dengan istilah petro-dollar. Konon jumlahnya mencapai milliar bahkan triliunan dollar. Bayangkan, Osama bin Laden -musuh utama AS- yang hanya seorang diri itu saja memiliki kekayaan pribadi lebih dari 300 juta dollar, belum lagi Bin Laden Corporation, dll.

Tentunya tidak dipungkiri bahwa saat ini salah satu kawasan paling kaya dan likuid adalah Timur Tengah. Namun dapat diingat bahwa, tidaklah mudah untuk menarik perhatian pemilik petro dollar itu, karena salah satu syaratnya adalah dana tersebut harus dapat dikelola secara syariah, atau terkait dengan transaksi-transaksi keuangan yang berdasarkan prinsip syariah.

Tak ayal, bukan hanya negeri muslim atau yang mayoritas muslim saja yang jelas-jelas berkomitmen untuk mengembangkan islamic finance sesuai keyakinan yang dianutnya yang ber-ijtihad mengembangkan kreativitas dan segala daya upaya untuk menerjemahkan prinsip-prinsip di zaman kenabian kedalam wujud aktual, aplikatif, dan praktis di dunia saat ini; tapi juga banyak dari kalangan barat yang sepertinya sih tidak ada kaitan dengan keyakinan yang dianutnya, turut mengadopsi prinsip islamic finance tersebut, menciptakan produk-produk keuangan semata-mata hanya kepentingan bisnis agar dapat menarik dan mengelola dana tersebut.

Memang sah sah saja sih dan juga ada manfaatnya AS, Inggris, Singapura menjadi pusat-pusat penelitian dan pengembangan islamic finance, padahal mereka bukan muslim. Bahkan mereka para ahli di Harvard mengakui bahwa prinsip islamic finance lebih fair dan logis dari ekonomi konvensional saat ini. Dari tangan mereka juga lahir literatur-literatur islamic finance yang menjadi rujukan saat ini dan cukup banyak dan beragam baik membahas mengenai ekonomi makro, mikro, perbankan, pasar uang, pasar modal forex dll. Dari situ pula akhirnya bank-bank asing berbondong-bondong membuka islamic windows sebagai salah satu produknya dan berlomba untuk masuk ke negeri-negeri muslim salah satunya Indonesia.

Ditengah kondisi krisis seperti ini, juga besarnya ketidakpastian, tentunya para pemilik petro-dollar akan menimbang dan menilai tingginya resiko untuk placing ke dunia barat. Di sisi lain mereka juga butuh kepastian dan tidak ingin terlalu lama memegang dollarnya menganggur untuk secepat mungkin dikonversikan kedalam bentuk aset yang lain, karena akan jauh lebih baik dan aman jika mereka memegang aset bukan dollar yang juga rentan terdepresiasi atau bahkan terdevaluasi.

Dana petro-dollar yang luar biasa banyak nya itu, tentunya akan dengan sendiri nya terserap oleh infrastruktur islamic finance, khususnya perbankan syariah. Bukankah itu juga yang di idam-idamkan oleh pemerintah, adanya dana investasi asing yang masuk ke Indonesia?

Mengapa kita masih mencari-cari dana investasi asing ke dunia barat? Padahal kondisi mereka pun sedang terguncang, juga kesulitan likuiditas bahkan mereka menjaga agar dana di dalam negeri mereka tidak hengkang keluar?
Kembali ke laptop, dapat kah kita memanfaatkan peluang yang terbuka lebar ini untuk tampil di wajah baru perekonomian dunia?


TOLOOONG....DOLLAR DOLLAR....

Benua biru Eropa dan AS sedang mati-matian untuk mempertahankan likuiditas. Penyandang dana atau investor di negeri mereka yang merasa tidak aman akan menarik dananya dan memindahkanya ke tempat dan atau kedalam bentuk/instrumen lain yang dirasa lebih aman. Investor di bursa saham yang sedang kacau berbondong-bondong menjual sahamnya untuk menghindari kerugian yang lebih besar, kemudian mengkonversikannya ke dalam bentuk lain dengan membeli reksa dana, obligasi pemerintah, instrumen lainnya, atau emas, bahkan memindahkan dananya ke negara yang dinilai beriklim lebih kondusif.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah negara setempat harus turun tangan. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah AS. Mereka harus meng-injeksikan ‘darah segar’ berupa dana yang amat besar hingga mencapai USD 700 miliar agar likuiditas yang beredar tetap aman, belum lagi memberikan bailout (talangan) ke perusahaan-perusahaan yang sedang colapse. Selain berupaya mempertahankan likuiditas dari dalam negeri seperti tersebut di atas, mereka juga gencar mencari likuditas dari luar untuk masuk ke negerinya. Jika likuiditas tidak terpecahkan, raksasa-raksana dunia itu terancam mati lemas karena kurang darah.

Namun ironis memang, masing-masing negara tersebut sama-sama mempertahankan dan berlomba mencari likuditas, tentunya akan terjadi perebutan dan persaingan. Kondisi negara-negara tersebut ibarat beberapa orang sahabat yang masing-masing dilanda masalah financial.
Si A butuh uang untuk bayar kontrakan yang sebentar lagi mau habis jika tidak harus hengkang dari rumah yang ditempatinya sekarang.
Si B sedang kelimpungan ditagih hutang oleh kartu kredit.
Si C butuh uang untuk mengobati penyakit kronisnya.
Si D butuh duit buat bayar sekolah anaknya.
Sementara si E lagi pusing tujuh keliling karena kendaraan yang seharunya beberapa bulan lagi lunas dari leasing, udah nunggak 2 bulan yang kalo nungak 1x lagi kepaksa di-jabel.

Si A s/d E awalnya adalah sahabat yang sangat akrab, seringkali saling membantu satu sama lain. Tapi dalam kondisi seperti itu, boro-boro bisa ngasih atau nolongin orang lain tapi semua berpikir untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Pertanyaannya sekarang, tatkala AS dan Eropa sedang kesulitan menjerit-jerit mencari dollar seperti layaknya lima sahabat tadi, mengapa Indonesia masih saja mencari dana ‘bantuan’ kesana?

Jika pun pada akhirnya diantara mereka ada yg bersedia ‘membantu’ memberi ‘soft’ loan, apakah logis mereka menyelamatkan orang lain lebih dulu? Sudah pasti ada udang- eh maaf, ada serigala di balik batu.

Mengapa kita tidak melirik ke negeri onta, yang kaya akan minyak dan banyak duit pula? dan tampaknya dengan krisis ini mereka adem ayem aja, bahkan Dubai malah mau bangun menara setingi 1 Km ! Tapi kuncinya mereka tidak akan mau bertransaksi jika petro dollarnya yang berlimpah tidak dikelola sesuai prinsip syariah ! itu pula sebabnya, mengapa lima sahabat tadi tidak bisa membeli hati raja-raja dari negeri onta untuk mengalirkan likuiditasnya kesana.

Jadi siapakah yang paling berpeluang untuk dapat mengelola petro dollar tersebut? Cukup terbayang potensi besyarnya islamic finance bukan? islamic finance bukan hanya omong kosong !