Kamis, 11 Desember 2008

JUAL BELI SURAT UTANG PENDEKATAN ATAS KRISIS SUBPRIME MORTGAGE

Masih membahas seputar pasar uang dan pasar modal, mari kita lanjutkan bahasan kita mengenai jual beli surat berharga. Untuk memudahkan dalam menjelaskan saya akan ambil contoh jual-beli surat hutang atau promissory notes (P-Notes).

Karena itu kembali dimunculkan disini contoh yang sudah menemani kita beberapa kali di blog ini, P-Notes:


Mengapa memperdagangkan surat berharga seperti P-Notes dapat menyeret Amerika ke badai krisis akibat subprime mortgage? mengapa jual-beli surat berharga dapat menggelincirkan dunia hingga ke jurang krisis seperti saat ini?

Jika kita kembali ke contoh P-Notes di atas dan kita perhatikan sejenak, P-Notes tidak lain hanyalah sebuah kertas -tepatnya- sebuah surat utang yang isinya adalah janji membayar secara tertulis dari si penerbit surat kepada pemegang surat sejumlah nominal tertentu (dalam contoh ini sebesar $ 250,000) saat surat tersebut diunjukkan -saat ditagih pemegang surat dengan cara mengunjukkan surat tersebut kepada si penerbit-. Kapan surat tersebut dapat diunjukkan? Yaitu saat jatuh tempo, dalam kasus ini tanggal 25 April 2000.

Saya berikan suatu contoh:
Sebuah perusahaan dagang tentu memiliki piutang atau tagihan ke para pembelinya baik kepada grosir, distributor, maupun sub-distributor. Piutang-piutang tersebut membuat siklus usahanya berubah tidak lagi jual-beli secara kontan (cash & carry). Karena itu dibutuhkan manajemen kas (cash management) dalam mengelola miss-match antara arus (flow) barang yang keluar dari perusahaan dengan arus uang yang masuk dari pembayaran para pembeli.

Kita asumsikan pembeli adalah A, B, dan C diberi tenggang waktu pembayaran masing-masing 1, 2 dan 3 bulan sejak pengiriman barang. Pengiriman barang dilakukan setiap bulan dimana A dan A' menunjukkan orang yang sama (A) pada dua waktu yang berbeda.

Miss-match tersebut, baik dari segi jumlah maupun timing menyebabkan perusahaan membutuhkan dana standby agar usahanya dapat terus berputar. Apabila flow tersebut disajikan ke dalam bentuk tabel, dapat diketahui informasi mengenai berapa barang yang dikeluarkan di hari apa kepada siapa. Di sisi lain dapat juga diketahui berapa banyak uang yang akan masuk dari siapa saja tanggal berapa, yang dikenal dengan jadwal pembayaran piutang (receivable aging).

Berkaitan dengan dana standby yang dibutuhkan agar usaha terus berputar, darimana perusahaan mendapatkannya?...Tenang-tenang....think smart !

Adanya jadwal pembayaran piutang, membuat perusahaan ‘PEDE’ untuk bisa ngutang alias pinjem duit dari luar, karena sudah bisa diperkirakan kapan akan ada dana masuk untuk melunasi hutangnya. Bermodalkan itulah perusahaan membuat surat hutang dengan nilai dan jangka waktu tertentu. Lalu surat hutang tersebut ‘dijual’ untuk menarik uang sesuai dengan jumlah yang diperlukan. Pembeli surat hutang bisa perorangan bisa juga perusahaan. Anggaplah surat hutang tersebut dibeli oleh bank investasi (investment banking). Sampai disini, masalah miss-match yang dihadapi perusahaan dagang sudah terpecahkan.

Di sisi lain bank tersebut tidak hanya membeli surat hutang dari satu perusahaan itu saja, tapi dari banyak perusahaan ambil contoh dari 10 perusahaan, artinya bank telah memegang 10 surat berharga berupa P-Notes sebagai alat investasi. Karena bank juga memperoleh dana dari nasabahnya yang seringkali dapat menarik dananya untuk suatu keperluan, bank memiliki problem yang sama dengan perusahaan dagang tadi, yaitu miss-match cash flow sehingga membutuhkan alat untuk pengaturan likuiditas. Bank membutuhkan dana pengganti (replacement) apabila nasabahnya menarik dana sementara uangnya masih tertanam dalam P-Notes tadi.

Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, bisa saja bank menjual P-Notes dari beberapa perusahaan tadi ke bank lain, namun bisa juga dengan menerbitkan P-Notes baru sesuai dengan pengaturan cash flow bank.

Alternatif I bank menjual P-Notes
Apabila perusahaan-perusahaan penerbit P-Notes kinerjanya bagus, membayar bunga yang disepakati tepat waktu maka harga P-Notes akan naik. Karena harga surat-nya naik, banyak bank lain atau sekuritas yang tertarik turut mengincar surat tersebut. Katakanlah P-Notes tersebut dijual oleh bank A sebagai pemilik awal kepada bank B. Terjadi perpindahan tangan (endorsment), sehingga perusahaan penerbit tidak lagi berkewajiban membayar bunga dan pokok kepada bank A, namun sebagai gantinya perusahaan berkewajiban membayar kepada bank B.

Begitu seterusnya saat terjadi jual-beli P-Notes yang berpindah tangan dari bank satu ke bank lainnya. Jumlah transaksi bisa berkali-kali dengan melibatkan banyak pihak, hingga akhirnya harga dari surat semakin menggelembung.

Saat P-Notes tersebut pada akhirnya dipegang oleh bank X, ternyata kondisi perusahaan sedang kurang baik sehingga nilainya turun. Apakah bank X akan menjualnya kembali dengan resiko rugi harga namun uang pokoknya kembali? atau bank X akan menahannya sampai jatuh tempo (Hold To Maturity / HTM) untuk menagihkan P-Notes tersebut ke penerbitnya agar si penerbit menepati janji tertulisnya untuk membayar sejumlah tertentu kepada pemegang P-Notes?

Jika bank X memilih opsi HTM, resiko tidak kembalinya pokok melekat padanya (tidak berpindah tangan). Katakanlah dalam perjalanannya si penerbit mengalami pailit, atau sengketa di pengadilan yang menganggu kinerja keuangan perusahaan, pada akhirnya...saat bank X mengunjukkan P-Notes tersebut ke penerbitnya, si penerbit tidak dapat memenuhi janjinya...

P-Notes hanya sekedar P-Notes...kertas hanya sekedar kertas...janji hanya sekedar janji...

Lalu berlanjut ke masalah sengketa yang lebih jauh, dimana bank x mengajukan gugatan ke pengadilan perihal penyelesaian surat hutang tersebut yang bisa berujung dengan penjualan/pelelangan aset si penerbit (jika bank X menang) itu pun tidak mudah, baik untuk mencari pihak yang berminat menjadi pembeli aset sitaan maupun untuk eksekusi sita jaminan (biasanya para preman sudah dikerahkan). Atau bisa juga bank X apes, akhirnya gak dapet apa-apa dan uangnya malah gak balik.

Alternatif II bank menerbitkan P-Notes baru
Efek kerusakan yang ditimbulkan alternatif II jauh lebih parah dan berlipat-lipat dari alternatif I.
Katakanlah bank A memegang 10 P-Notes lalu surat-surat tersebut dipaketkan menjadi satu sebagai dasar dari penerbitan P-Notes baru alias disekuritisasi oleh perusahaan sekuritas. Lalu P-Notes baru tersebut diperjual-belikan berkali-kali. Dipindahtangankan dengan melibatkan banyak pihak dan banyak transaksi.

Lalu, katakanlah bank C dengan dasar P-Notes baru tersebut mensekuritisasi lagi asetnya, dan diterbitkanlah surat baru. Hingga akhirnya nilainya menggelembung berkali-kali.

Begitu seterusnya hingga sampai pada bank X. Saat gelembung itu pecah yang berawal dari tingkat dasar (P-Notes dari perusahaan dagang), bank X akan menagihkan P-Notes nya ke bank lain, begitu seterusnya, beruntun hingga akhirnya suatu bank menagih kepada bank A, dan bank A menagihnya kepada perusahaan dagang. Tetapi karena lantai dasarnya telah lebih dulu runtuh, tidak ada lagi sumber pembayaran yang pasti. Pada akhirnya satu-persatu jatuh bangkrutlah para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Kurang lebih, seperti itulah nasib yang menimpa Lehman Brother, salah satu Investment Banking terbesar di AS yang akhirnya jatuh bangkrut. Pitutang-piutang dari perusahaan dagang di awal cerita, bisa anda ganti dengan subprime mortgage. Para pihak yang terlibat bisa anda ganti dengan AIG, Freddie Mac, Merrill Lynch, perusahaan asuransi dan sekuritas lainnya, dst.

Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (kekayaan). [Ar-Rum: 39]

Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. [An-Nisa : 161]

Jumat, 05 Desember 2008

MASIH PANTASKAH KITA BERKIBLAT PADA MEREKA?

Ditengah banyaknya penduduk dunia yang terancam kelaparan, termasuk di AS yang mulai kelaparan sejak tahun 2007, disertai dengan kondisi krisis finansial global yang menggerogoti negeri-negeri di barat maupun di timur, terdapat suatu kawasan yang sepertinya tidak terlalu ambil pusing terhadap krisis. Kawasan itu berada di tengah-tengah belahan bumi antara barat dan timur, yaitu Timur Tengah.

Kawasan ini dahulu tandus dipenuhi padang pasir, namun berkat sumber daya alamnya yang kaya akan minyak dan gas bumi, kawasan ini menjadi makmur. Dari hasil eksploitasi migas mereka mendapatkan petro dollar yang berlimpah. Dari dana tersebut mereka dapat membangun kota-kota yang dulu hanyalah gurun pasir. Di gurun yang panas dan tandus, tidak banyak ditemukan oase. Air minum diperoleh dengan teknologi yang menggunakan prinsip reverse osmosis (kebalikan dari bikin telur asin), mereka olah air laut yang asin menjadi air tawar menyegarkan. Mereka bangun bendungan untuk mengalirkan air-air ke berbagai daerah dan melakukan berbagai macam cara agar daerah tersebut menjadi hijau dan layak huni. Lalu mereka bangun kota yang sangat modern di atasnya, real estate dan apartemen, gedung-dedung pencakar langit tercanggih dan hotel-hotel termewah di dunia.

Mari kita tengok salah satu negara di Middle East yang unik dan akhir-akhir ini selalu menggoncangkan dunia, Uni Emirat Arab (UEA). Perusahaan penerbangannya, Fly Emirates, pernah menjadi sponsor utama salah satu klub elit di Liga Inggris yang akrab dipanggil The Blues, Chelsea. Bahkan di tahun 2008, giliran Manchester City yang dibeli oleh konglomerat asal Ibukota UEA, Abu Dhabi.


Selain Abu Dhabi, berjalan sedikit ke timur laut terdapat sebuah kota lain di UEA yang juga penting kedudukannya bagi dunia, Dubai. Bahkan dari segi pesatnya kemajuan pembangunan, Dubai sebagai pusat perekonomian UEA lebih maju dari Ibukotanya sendiri.



Bayangkan tatkala rakyat Amerika mulai kelaparan, begitu pula negara barat dan timur kacau karena krisis, di Dubai pada bulan November 2008 lalu malah diresmikan sebuah hotel yang paling mewah di dunia. Hotel itu diberi nama “Atlantis, The Palm”. Ini adalah fotonya saat masih dalam masa pembangunan:



Dinamakan Atlantis karena hotel canggih dan mewah tersebut dibangun menjorok ke laut di lahan hasil reklamasi, sehingga mirip dengan dongeng negeri Atlantis.

Diberi istilah Palm karena areal tersebut banyak dihiasi dengan pepohonan jenis palem-paleman (family palmae). Bahkan apabila dilihat dari atas, seluruh hotel berada di sebuah pulau buatan yang didesain seperti layaknya sebuah pohon palem.

Indahnya, sugguh menakjubkan !
Saat diresmikan beberapa waktu lalu, lebih dari 2.000 selebretis top dunia menghadiri acara tersebut. Gak tanggung-tanggung peresmian dimeriahkan dengan pesta yang menghabiskan biaya 20 juta dollar AS, hanya untuk membakar kembang api. Konon pesta kembang abi itu adalah pesta kembang api terbesar abad ini, tepatnya 7x lebih besar dari pesta pembukaan Olimpiade di Beijing kemarin.

Hotel ini memiliki 1.539 kamar dengan tarif per malam sebesar 35,000 dollar AS. Dilengkapi dengan taman air yang terbesar di Timur Tengah dan akuarium raksasa yang dapat menampung 65.000 ikan. Lebih dari semua itu, pembangunan seluruh areal hotel memakan biaya 1,5 miliar dollar AS.

Sementara Hotel Atlantis diresmikan, di belahan bumi yang lain, tepatnya di Amerika, sejumlah petinggi dan pejabat dari berbagai negara tengah berkumpul dalam forum G-20 untuk membahas jalan keluar dari krisis finansial global. Usulan negara kita yang disampaikan oleh Presiden SBY saat itu, ternyata diterima dan disambut baik oleh sidang, yaitu bahwa diperlukan pembentukan lembaga investasi yang memiliki dana untuk penyelamatan krisis di berbagai negara.

Lembaga tersebut dikenal dengan istilah SWF (Sovereign Wealth Funds). Mudahnya SWF adalah lembaga keuangan yang mengelola ‘dana abadi’ untuk kesejahteraan dan tidak akan jatuh bangkrut/pailit (sovereign). Seperti diberitakan oleh Investor Daily tanggal 28 November 2008, bahwa di dunia telah terdapat beberapa SWF yang dibentuk. Ternyata SWF yang terbesar adalah SWF asal UEA, yaitu Abu dhaby Investment Authority yang memiliki dana untuk bantuan sebesar 875 miliar dollar AS, bahkan menurut sumber lain sudah mencapai 1,32 triliun dollar AS. Tercatat di nomor urut dua adalah SWF milik Norwegia, The Government Pension Fund of Norway yang memiliki dana sebesar 391 miliar dollar AS, atau hanya 30-40% dari milik Abu Dhabi. Dan berikutnya diikuti oleh SWF-SWF lain dengan dana yang lebih kecil.

Bandingkan dengan kita, cadangan devisa kita per akhir Oktober 2008 adalah sekitar 50,6 miliar dollar Amerika (5% dari SWF-nya Abu Dhabi). Jompang sekali ya?

Apa inti dari semua ini?
Bahwa
tatanan perekonomian dunia telah berubah. Untuk apa kita masih berkiblat ke negara-negara barat yang ternyat tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri? Untuk apa kita masih menganut sistem ekonomi yang ternyata tidak mampu menyelamatkan negara yang menciptakan dan memakai sistem tersebut? Oleh karena itu, sungguh tidak layak bagi kita Indonesia, jika ingin survive, apabila kita tetap berkiblat kepadanya.

Timur tengah kaya akan petro dollar, dan tentunya tidak sembarangan pihak dapat menarik dana berlimpah itu untuk menyelamatkan atau berinvestasi di negerinya, karena syarat mutlak dari negara-negara di Middle East adalah bahwa dana tersebut harus dikelola dengan prinsip syariah (sharia compliance).

Potensi Islamic Finance di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan rata-rata perbankan syariah di Indonesia lebih besar dari 50% per tahun. Bank-bank asing berlomba membuka bisnis unit syariah. Para investor asing saat ini sedang mengintip pasar di Indonesia untuk berlomba membuka layanan syariah. Namun kita masyarakatnya, masih saja tidur dan belum juga sadar bahwa kita adalah The Sleeping Giant of Islamic Finance in the World. Padahal begitu besar
potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dari dana yang dikelola secara Islamic Finance.

Inilah saatnya bangkit! Sebagai seorang praktisi Islamic Finance, saya menyerukan dan mengajak seluruh lapisan masyarakat, mari kita turut berpartisipasi dalam mengembangkan Islamic Finance, bergabunglah menjadi nasabah perbankan syariah, kunjungilah cabang-cabang bank syariah terdekat, dan bebaskanlah diri kita dari buruknya riba.

Kamis, 04 Desember 2008

DARI PERMAINAN HARGA MINYAK MENUJU KRISIS PANGAN

Melanjutkan efek dari ulah para spekulan yang menyihir minyak menjadi dadu, ternyata imbasnya tidak cukup berhenti sampai harga minyak yang melonjak tinggi saja. Imbasnya bahkan sudah menyebabkan dunia terancam krisis pangan. Kok jauh sekali ya?

Para spekulan tidak puas hanya dengan minyak, tapi komoditas-komoditas penting lainnya pun tidak luput dari permainan mereka seperti batu-bara, CPO, dll. Walaupun demikian, biarlah kita asumsikan disini bahwa hanya minyaklah yang sudah tidak mencerminkan hukum supply-demand akibat ulah para spekulan sementara komoditas lain terbebas dari itu. Kita anggap saja begitu.

Akibat harga minyak membumbung setinggi langit, harga komoditas yang menjadi sumber energi juga ikut naik. Mahalnya harga minyak memaksa para pelaku bisnis untuk melirik sumber energi lain yang lebih murah khususnya coal dan gas, yang karena itu permintaan akan coal & gas meningkat pesat sehingga harganya naik.

Naiknya harga coal memicu para pelaku bisnis berlomba-lomba terjun membuka pertambangan. Di tahun 2007 terjadi booming coal, dan Indonesia berhasil menjadi produsen sekaligus eksportir coal terbesar di dunia berkat ‘sumbangan’ dua pulau, yaitu Sumatera dan Kalimantan yang menurut Kementrian ESDM memiliki kandungan coal terbesar di Indonesia, masing-masing sebesar 27,3 dan 32,9 miliar metrik ton sehingga total deposit coal di Indonesia sebesar ±60,5 miliar metrik ton.

Di sisi lain, booming coal membuat berjuta-juta hektar lahan hijau akhirnya dikorbankan menjadi tambang. Hutan di Sumatera dan Kalimantan semakin hari semakin menipis. Hal tersebut membuat para pemerhati lingkungan gerah, karena efek dari global warning sudah semakin terasa akibat dari emisi gas rumah kaca (H2O(g), CO2, CH4, N2O, CFC atau freon dari senyawa florin klorin dan bromin) yang terus meningkat, khususnya disebabkan dari hasil pembakaran bahan bakar bersenyawa hidro-karbon.


Kemudian diserukanlah penggunaan bahan-bakar terbarukan yang ramah lingkungan yang dikenal dengan biofuel. Salah satu bahan baku biofuel yang paling mudah didapatkan dan paling berlimpah ketersediaannya di dunia adalah minyak kelapa sawit atau CPO (crude palm oil), karena CPO dapat diolah menjadi biodiesel. Namun sayangnya, permintaan CPO juga tinggi, tidak hanya untuk biofuel, CPO diperlukan untuk beragam produk seperti minyak goreng, mentega, margarin, emulsi makanan, sabun, kosmetik, dll. Inilah yang menyebabkan CPO menjadi primadona sehingga harganya pun turut naik dan booming.



Seperti halnya yang terjadi pada batubara, naiknya harga CPO memicu pertumbuhan industri kelapa sawit dalam rangka memenuhi banyaknya permintaan. Walaupun secara kasat mata kerusakan lahan tidak separah yang terjadi karena aktivitas pertambangan, namun tetap saja banyak lahan yang tadinya hutan hujan tropis beralih menjadi kawasan
perkebunan. Kembali lagi, dua pulau Sumatera dan Kalimantan lah yang menjadi korban. Hal ini juga diteriaki oleh para pemerhati lingkungan, karena fungsi hutan untuk menyerap emisi gas rumah kaca khususnya CO2 semakin menurun. Padahal Sumatera dan Kalimantan adalah bagian dari paru-paru penghasil oksigen yang paling penting di dunia. Berkurangnya hutan juga berarti berkurangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem. Sampai akhirnya muncul slogan Green Peace: “Pohon kok makan pohon, palm oil should not destroy forrest.”


Selain desakan dari pemerhati lingkungan, booming dan tingginya harga CPO membuat para produsen biodiesel -yang sudah pasti ingin untung- berfikir panjang. Apakah memang membuat biodiesel dari CPO itu menguntungkan atau malah merugikan. Setelah dihitung-hitung kok ternyata ongkos produksi membuat biodiesel dari CPO justru malah lebih mahal dari ongkos lifting (nge-bor) dan memurnikan crude oil dari dalam perut bumi menjadi BBM siap pakai. Kalau gitu buat apa dong? Biodiesel tetap gak akan laku, karena orang akan membeli BBM hidrokarbon yang lebih murah. Hal inilah yang membuat negara sekuat German, akhirnya terpaksa menghentikan proyek biodieselnya untuk sementara waktu.



Tidak kehilangan akal dicarilah bahan baku biofuel lain selain CPO. Mulailah dilirik pohon jarak, sorgum (sejenis gandum kasar), dan singkong. Dalam hal ini singkong dapat menghasilkan bioetanol. Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Meski harga jualnya lebih mahal ketimbang premium, bioetanol laku di pasaran karena teruji dan terbukti dilapangan menghasilkan kinerja mesin lebih bagus dengan konsumsi bahan bakar lebih hemat 20-30 persen.

Dengan segala kelebihan di atas, secara jangka panjang bisnis bioetanol patut dikembangkan. Sayangnya, para pelaku agribisnsi merasa kejatuhan durian runtuh. Para petani lebih memilih menanam tanaman biofuel daripada menanam bahan pangan. Baru-baru ini saya mengunjungi Lampung untuk suatu pekerjaan, terbentang luas hampir disepanjang jalan yang saya lalui, kebun singkok dikiri dan kanan jalan. Tak terkecuali pekarangan rumah penduduk yang seolah tak mau ketinggalan juga menaman singkong. Di sisi lain singkong adalah tanaman umbi-umbian yang menyerap unsur hara, sehingga lama kelamaan tanah akan berkurang kesuburannya dan sudah tentu merugikan petani tradisional.

Di banyak negara, khususnya AS lahan-lahan pertanian berubah menjadi lahan tanaman biofuels. Hal ini menyebabkan produksi pangan dunia terus tergerus, sementara populasi semakin meningkat dengan kebutuhan pangan yang semakin besar. Akhirnya harga pangan secara intrnasional pun membumbung tinggi, dan derita rakyat jelata yang sudah sulit menjadi semakin sulit.

Di saat pasar modal dan pasar uang runtuh, diikuti oleh turunnya harga crude oil secara drastis semuanya pun ikut terseret. Industri yang sudah terlanjur beralih dari minyak ke coal tidak dapat dengan mudah mengubah instalasinya untuk membeli minyak yang saat ini harganya lebih murah dari coal. Disaat harga minyak turun, jutaan hektar hutan yang telah beralih menjadi lahan perkebunan dilanda krisis karena anjloknya harga CPO, dan jutaan hektar lahan pertanian yang sudah terlanjur beralih menjadi ladang biofuel pun tidak dapat dikembalikan fungsinya dengan mudah, sementara krisis pangan sudah siap mengancam dunia.
Akankah kondisi ini terjadi jika manipulasi hukum supply-demand terhadap minyak tidak terjadi?

Kini kita sudah sampai pada suatu keadaan dimana dunia diancam krisis pangan, kerusuhan, dan kelaparan. Sejak awal tahun 2008, setiap hari 26.500 anak-anak mati akibat kelaparan apalagi ketika harga-harga bahan pokok semakin mahal dan semakin sulit diperoleh.

Bahkan kelaparan tidak hanya menerjang benua Afrika, namun sudah melanda negara super power. Departemen Pertanian AS menyampaikan berita yang cukup mengejutkan bahwa sejak tahun 2007 telah terjadi kelaparan di AS. Hal tersebut berdasarkan studi yang mereka lakukan ke 45.600 rumah tangga yang mewakili 118 juta keluarga.

Menurut laporan Deptan AS, pada tahun 2007 saja, sekitar 700.000 anak-anak AS teridentifikasi berada dalam kondisi "keamanan pangan" yang sangat rendah atau dengan kata lain dapat disebut mengalami kelaparan. Hasil studi itu menunjukkan bahwa 1 dari 8 orang AS, atau hampir 11,9 juta warga AS kelaparan pada tahun 2007.

Presiden Food Research and Action Center, James Weill mengungkapkan, jumlah orang yang kelaparan di AS kemungkinan akan terus bertambah, bahkan hingga 50 persen pada tahun 2008 ini. “Berdasarkan pada meningkatnya permintaan tahun ini di tempat-tempat pengambilan kupon makanan, permintaan akan dapur umum darurat, juga permintaan klinik untuk kaum perempuan, anak-anak dan balita di seluruh struktur layanan sosial, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa jumlah orang yang kelaparan akan bertambah banyak,” papar Weill.

Tanggal 26 November 2008, Washington Post memberitakan bahwa permintaan kupon makanan di kalangan rakyat AS mencapai angka tertinggi pada bulan November kemarin yaitu sebesar 30 juta kupon. Para analis berpendapat bertambahnya pengangguran yang mencapai 6,5 persen di bulan Oktober dan diperkirakan bertambah menjadi 8 persen sampai akhir tahun 2009 serta mahalnya bahan pangan, menjadi penyebabnya meningkatnya jumlah permintaan kupon makanan. Kenaikan harga yang sangat cepat justru terjadi pada bahan makanan utama warga AS seperti telur dan roti.

Setelah terjadi kondisi seperti ini, yang bermula dari ulah para spekulan dalam melonjakkan harga crude oil yang berakhir dengan krisis pangan, semua tergantung kita. Apakah manusia tersadar dengan teguran dari langit berupa krisis pangan yang siap menerkam, yang dengan itu manusia kembali ke jalan yang benar?

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [Ar-Ruum : 41]

Rabu, 03 Desember 2008

MENYIHIR KOMODITAS MENJADI DADU

Melanjutkan dongeng minggu lalu, saat subprime menjadi pemicu goncangan di pasar uang dan pasar modal dengan nilai kerugian yang sangat besar, para spekulan (penjudi berdasi) yang ditimpa kerugian hingga bersimbah darah tidak kehilangan akal. Mereka sudah mengincar ‘meja judi’ yang baru untuk memuaskan kerakusan mereka akan harta dengan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun harus berdiri di atas penderitaan orang banyak.

Celakanya, ‘meja judi’ yang baru bukanlah kertas (surat berharga) yang hanya dimiliki oleh segelintir orang atau badan usaha, yang jika ‘meledak’ hanya akan merugikan para pihak yang ‘memegang’ kertas itu saja dan tidak akan menyeret pihak lain yang tidak tahu apa-apa. Namun dalam hal ini, mereka telah masuk ke domain yang secara langsung berimbas kepada sendi-sendi kehidupan masyarakat luas di seluruh dunia dengan mempermainkan komoditi.

Sugguh tega, gak tanggung-tanggung komoditi yang mereka pilih adalah komoditi penting yang seharusnya dijaga dari tangan para spekulan. Mereka memilih minyak mentah sebagai ‘dadu permainan’ yang siap dilemparkan di ‘meja judi’. Di tengah penderitaan masyarakat internasional khususnya masyarakat menengah ke bawah, para perusak ekonomi ini meraup untung ratusan milyar dollar AS dari perekayasaan harga minyak mentah dunia di bursa komoditas. Akibatnya harga komoditas paling penting ini mengalami lonjakan luar biasa yang sulit diterima akal sehat.


Apakah pernah terfikir oleh Anda akan adanya kejanggalan dalam pergerakan harga crude oil? Saya masih ingat tahun 2004-2005 waktu menangani proyek di salah satu lapangan minyak di Prabumulih, harga crude oil saat itu berada dalam kisaran 30-40 dollar AS per barell. Dengan harga itu pun perusahaan minyak sudah bisa surplus, dan karena harga crude oil bagus banyak lapangan minyak yang sudah tua yang dulu sempat ditutup -karena dinilai tidak memenuhi skala ekonomis untuk ditambang- kembali diaktifkan. Lalu harga minyak bergerak naik, dan terus naik hingga sempat mencapai angka 120 dollar AS per barell di kuartal I tahun 2008.


Kalau boleh mundur sedikit ke belakang, kembali ke bulan Mei-Juli 2008 dan kita jeli sedikit saja, harga komiditi -minyak- yang bergerak dan melonjak naik adalah harga untuk future contract yang mencapai 120 dollar AS per barel itu. Future contract adalah transaksi yang harganya ditentukan saat ini sedangkan transaksi barangnya dikirimkan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, di bulan April 2008 media-media sudah memberitakan harga minyak brent atau light sweet atau jenis crude oil yang lain untuk pengiriman Juni 2008 adalah ...sekian.... per barrel. Pemberitaan itu dengan jelas menginformasikan bahwa harga tersebut adalah harga future contract, sedangkan di spot-contract (transaksi di hari berjalan/transaksi saat itu) harganya lebih realistis (lebih murah).

Mengapa demikian? Mengapa harga spot lebih murah dari harga future? Karena adanya ketidakpastian masa depan! Dan ketidakpastian inilah yang dimanfaatkan oleh para spekulan sebagai celah untuk mengeruk keuntungan.



Karena minyak adalah komoditi yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan energi dunia, banyak pihak yang berkepentingan saling berlomba untuk mengamankan pasokan minyaknya di masa depan. Namun mereka tidak dapat memastikan seperti apa permintaan untuk 3 bulan mendatang. Mereka tidak tahu dengan pasti seberapa banyak permintaan akan naik dan sepertinya agak mustahil jika turun. Juga tidak tahu berapa harga minyak di 3 bulan mendatang, akankah turun atau naik. Karena adanya ketidakpastian itulah para pembeli berani membayar lebih mahal sebagai kompensasi atas resiko. Dengan forward contract setidaknya pembeli akan merasa lebih aman karena terhindar dari kerugian yang lebih besar. Misalnya harga sekarang 100, lebih baik membeli lebih mahal sekarang diangka 110 untuk pengiriman 3 bulan mendatang, daripada membeli nanti 3 bulan lagi saat harga ternyata mencapai angka 125, itu pun dengan kondisi ketersediaan pasokan barang yang belum tentu ada. Bila ternyata 3 bulan kemudian harga turun sepertinya terlihat rugi, namun tidak demikian, yang diamankan disini adalah kontinuitas pasokan.

Sayangnya, spekulan juga mencium peluang tersebut. Niat tulus para pelaku bisnis untuk mengendalikan resiko justru dimanfaatkan spekulan. Adanya rentang waktu 3 bulan bisa dimanfaatkannya untuk bermain dadu di komoditi berjangka. Hasilnya, dalam waktu 3 bulan dokumen minyak dapat diperjual-belikan dan dipindahtangankan berkali-kali ke banyak pihak, sudah tentu nilainya juga akan turut menggelembung. Masih ingatkah dengan contoh transaksi pisang yang dulu sempat dijelaskan?

Jika kita ingat-ingat pelajaran ekonomi di SMA tentang hukum permintaan dan penawaran, dimana harga akan naik jika permintaan naik dengan penawaran yang tetap atau turun, maka patut kita bertanya apakah pergerakan harga minyak yang (sempat) naik fantastis ini memang benar-benar berasal dari tingginya tingkat permintaan? Atau hanya berasal dari tingkah laku dan ulah para spekulan yang tidak bertanggung jawab yang membuat permintaan seolah-olah naik untuk menaikkan harga?

Tidak masalah jika harga minyak merangkak naik apabila memang murni disebabkan oleh hukum permintaan-penawaran, karena pasar secara dinamis pasti dengan sendirinya akan mencari titik keseimbangannya (equilibrium), disamping naiknya harga minyak ini akan menghasilkan multiplier effect yang menggerakkan sektor perekonomian lainnya. Berbeda halnya jika harga naik disebabkan permintaan yang semu, sektor riil tidak akan bergerak dan titik keseimbangan tidak akan tercapai.

Kembali ke pertanyaan, apakah benar harga minyak yang (sempat) naik itu disebabkan kerena hukum permintaan-penawaran atau justru ada ulah para spekulan?
Jawabannya bisa anda renungkan sendiri:
Saat perekonomian dunia morat-marit dan kondisi di sektor-sektor industri lainnya sedang lesu, justru minyak malah booming dengan harga selangit. Seolah-olah semua sarana produksi, industri-industri, dan konsumsi energi rumah tangga (yang semuanya merepresentasikan sisi permintaan) juga meningkat dan mengalami booming.
Kenyataan ini mejelaskan kepada kita semua, bahwa perkembangan harga minyak mentah sudah tidak sesuai lagi dengan mekanisme supply dan demand riil. Sebagaimana yang dikatakan Sekjen OPEC, harga minyak melambung disebabkan oleh permainan spekulasi di bursa komoditas dan menurunnya nilai mata uang dollar Amerika.

Disisi lain, karena harga minyak yang gak karuan, biaya produksi menjadi mahal, begitu pula dengan transportasi sehingga harga barang-barang pun ikut naik. Sedangkan disaat yang sama sektor riil tidak turut bergerak yang artinya daya beli masyarakat tidak ikut naik, sehingga harga barang-barang semakin tidak terjangkau dan pada akhirnya hidup rakyat jelata semakin terasa berat.

Apakah efek dari tangan para spekulan ini berhenti sampai disini? Tidak ! Dongeng belum selesai....
Mari kita renungkan, jika kita lihat sekarang harga crude oil sudah turun menjadi 50-an dollar AS per barrel, padahal tidak lama berselang, beberapa bulan lalu harganya mencapai 120 dollar untuk satuan unit yang sama. Apakah tidak janggal? Jika memang benar beberapa bulan lalu naiknya harga crude oil sampai mencapai titik yang tertinggi dalam sejarah itu semata-mata disebabkan karena hukum supply-demand, mengapa sekarang anjloknya sangat drastis ?!?! Seperti halnya dulu naiknya pun sangat drastis.
Ini komoditi Bung ! Bukan saham yang naik-turun secara drastis. Setidaknya dalam kondisi krisis seperti ini, dan harga minyak turun drastis, mudah-mudahan dunia sadar dengan apa yang terjadi, dan esok harinya terbangun dengan sebuah pertanyaan: 'ada apa dengan semua ini?' Mungkinkah harga minyak saat ini adalah harga yang mencerminkan hukum supply-demand yang sesungguhnya?

Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.". Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. [Al-Baqarah : 11-12]

Rabu, 26 November 2008

SUBPRIME MORTGAGE PEMICU KRISIS FINANSIAL GLOBAL


Belakangan ini sering kita dengar istilah subprime mortgage baik di media cetak, elektronik, maupun di internet dengan bahasa keuangan yang jelimet. Mudah-mudahan penjelasan awam ini bisa mempermudah anda untuk memahami apa itu subprime mortgage. Konon karena "binatang yang satu inilah" krisis finansial global tahun 2008 ini berawal. Benarkah itu?

Memang tudingan itu ada benarnya, bahwa jatuhnya subprime adalah pemicu awal dari krisis saat ini. Namun kurang tepat juga jika semua kesalahan ditimpakan pada subprime, karena tanpa adanya peran serta pasar uang dan pasar modal dalam penggelembungan nilai dari surat-surat berharga yang berhubungan dengan subprime tentu krisis ini tidak akan menjalar dan berkepanjangan.

Seperti isi tulisan di awal mula blog ini, penyebab utama krisis adalah karena rapuhnya sistem ekonomi dunia saat ini yang didominasi oleh kapitalis. Perekonomian saat ini lebih banyak digerakkan oleh transaksi financial ketimbang transaksi riil yang melahirkan virtual economy menurut Peter Drucker (1980) atau bubble economy dalam istilah Paul Krugman (1999). Tapi karena topik kita kali ini adalah subprime yang memang benar menjadi pemicu krisis ini, sayang kalo bahasan tentang subprime sendiri dilewatkan begitu saja.

Berhubung keterbatasan waktu, memang cukup sulit bagi saya utuk menulis dengan konten yang banyak dalam satu waktu, akhirnya terpaksa dipecah-pecah menjadi topik-topik kecil. Yang sudah kita bahas kemarin adalah peranan bank, sekuritas, dan asuransi. Telah dibahas juga mengenai bubble effect / bubble economy dan begitu rapuhnya praktek di pasar modal yang dipenuhi oleh maisir, gharar, dan riba yang membuat harga komoditi dan indeks menjadi sangat volatile.

Nah, jika disepertikan bahwa bahasan-bahasan tersebut sebagai lingkaran, bahasan yang satu ini ibarat irisan dari semua lingkaran itu karena melibatkan bank, sekuritas, asuransi, pasar uang dan pasar modal.

Dalam bahasa awam mortgage bisa diartikan sebagai kredit properti yang jaminannya adalah properti itu sendiri. Singkat kata, mortgage itu kredit perumahan (KPR). Istilah prime menunjukkan kualitas dari suatu KPR yang diberikan kepada nasabah yang mampu mencicil, membayar, dan melunasi KPRnya dilihat dari beberapa parameter seperti jumlah penghasilan yang memadai, punya pekerjaan tetap, memiliki jabatan, bahkan memiliki track record yang baik di bank dalam pembayaran kreditnya selama ini.

Jadi mudahnya, subprime (dibawah prime) adalah KPR yang diberikan kepada peminjam yang tidak memiliki kapasitas membayar tersebut di atas, sehingga bank pemberi KPR subprime memiliki resiko gagal bayar yang lebih besar. Misalnya adalah KPR yang diberikan kepada buruh, pekerja tidak tetap, dan masyarakat yang hidup pas-pasan.

Karena resiko subprime lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan bank kepada peminjam juga lebih tinggi dari prime mortgage. Bayangkan, apakah ini tidak terbalik? Orang-orang kaya/mampu membayar kepada bank lebih murah sedangkan orang-orang yang hidup pas-pasan harus membayar hutang dengan bunga yang lebih tinggi dari orang-orang kaya itu ?!?!

Bukankah seharusnya negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap warganya yang salah satunya adalah papan (tempat tinggal)? Bukankah seharusnya orang-orang yang lemah itu disubsidi? Bukan malah dibebani dengan beban yang lebih besar?

Kalau Indonesia tidak ingin terjangkit penyakit karena subprime, hal ini juga yang harus dicermati oleh Pemerintah kita dalam menyediakan tempat tinggal bagi warganya khususnya bagi golongan menengah ke bawah. Sejauh ini walaupun dirasakan masih kurang karena banyaknya WNI yang belum memiliki tempat tinggal, sepertinya dan mudah-mudahan selalu begitu, Pemerintah cukup serius dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan tempat tinggal bagi warganya seperti melalui program penyediaan RSS, apartemen bersubsidi, dll yang disalurkan dan dikelola oleh bank pemerintah.

Kembali ke topik, pertanyaannya sekarang jika memang beban bunga bagi peminjam subprime lebih tinggi mengapa mereka mampu membayarnya? Bahkan secara industri, KPR subprime ini memiliki pertumbuhan yang baik sejak 2004-2006 dengan meningkatnya eksposur kredit yang dikucurkan oleh bank bagi sektor tersebut?

Penyebabnya adalah, skema kredit subprime yang dimodifikasi agar memiliki nilai jual dari segi marketing (biar laku). Salah satunya adalah pengaturan beban bunga dimana 2 tahun pertama kredit dikenakan bunga yang sangat rendah, namun mulai di tahun ke-3 mungkin sampai 28 tahun berikutnya dikenakan bunga yang melonjak tinggi.

Dengan iming-iming bunga rendah selama 2 tahun pertama masyarakat kelas bawah serasa diberi angin segar. Setelah sekian lama sulitnya ingin punya rumah dan pengajuan kreditnya ditolak terus-menerus, ternyata ada suatu produk yang memberikan secercah harapan. Akhirnya masyarakat berbondong-bondong mengambil fasilitas subprime ini, karena bayangan manis di 2 tahun pertama mengalahkan adanya potensi pukulan pahit di 28 tahun berikutnya.

Hal ini juga yang menyebabkan grafik pertumbuhan subprime meningkat dari tahun ke tahun. Tak heran bila mortgage terus meningkat, semakin banyak rumah dibangun. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank terus meningkat sehingga pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat meningkat pesat (housing booming).

Di sisi lain, suku bunga bank sentral Amerika juga rendah. Dalam kondisi suku bunga yang rendah sementara harga properti terus naik, para pemberi KPR subprime seolah lupa akan adanya resiko gagal bayar dari peminjam.

Justru yang ada malah sebaliknya, subprime disulap menjadi produk keuangan yang menarik, disekuritisasi oleh berbagai perusahaan sekuritas, diasuransikan. Lalu dijual oleh bank ke bank lain dalam money market (pasar uang). Lalu disekuritisasi lagi, dijual kembali dalam bentuk surat berharga, hingga nilai transaksi menjadi menggelembung karena dilakukan berkali-kali sementara nilai tansaksi riilnya tidak berubah.

Proses sekuritisasi yang mengubah ‘wujud’ subprime ke dalam bentuk surat berharga mencapai beberapa tingkatan. Dari mulai sebagai surat hutang biasa (promisory notes yang dijual), lalu disekuritisasi menjadi MBS (Mortgage-Backed Securitites), lalu di beberapa MBS ini disekuritiasi lagi menjadi CDOs (Collateralized Debt Obligations). Apapun istilahnya, semuanya itu hanyalah kertas yang nilainya menggelembung. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika maupun ke negara lain.

Seperti dijelaskan di atas bahwa karena grafik pertumbuhan subprime yang meningkat diiringi juga dengan boomingnya sektor properti dengan menjamurnya perumahan-perumahan baru di Amerika, justru semakin membuat ‘kertas subprime’ hasil sekuritisasi menjadi pilihan yang menarik untuk berinvestasi. Kertas tersebut semakin laku dijual, semakin diminati, banyak dicari orang, dan semakin mahal harganya.

Lalu, pertanyaannya adalah: bagaimana kondisi para peminjam subprime setelah tahun ke-3?
Karena adanya 'diskon' bunga yang sangat rendah yang diberikan di dua tahun pertama, sudah tentu tidak akan ada kapitalis yang ingin rugi dan memberikan 'diskon cuma-cuma'. Sebagai kompensasi, bunga mulai tahun ketiga menjadi floating, dan melonjak naik begitu saja.

Karena bunga naik drastis cicilan rumah juga semakin besar dan dirasakan sangat berat oleh para peminjam subprime. Pada akhirnya sebagian besar peminjam itu default, tidak mampu membayar kewajibannya kepada bank pemberi KPR. Ditambah lagi kondisi sektor riil di Amerika yang mengalami resesi membuat banyak perusahaan melakukan PHK. Gelombang PHK membuat jutaan orang kehilangan pekerjaannya, termasuk buruh dan para pekerja yang menjadi peminjam subprime. Walhasil, para korban PHK tidak mampu membayar kewajibannya dan secara keseluruhan eksposur subprime yang default semakin besar.

Banyaknya pinjaman yang macet berdampak pada bank pemberi subprime. Salah satu yang terbesar adalah Lehman Brothers. Bank investasi ini mengalami kerugian besar akibat krisis subprime mortgage. Pada laporan keuangan kuartal kedua tahun 2008, Lehman melaporkan kerugian 2,8 miliar dollar AS. Selain itu, mereka harus menjual paksa aset bernilai 6 miliar dollar AS dan pada akhirnya secara resmi Lehman mengumunkan diri pailit alias bankrut.

Krisis subprime menyebabkan harga saham Lehman di bursa terus menurun. Lalu merembet ke saham-saham perusahaan lain yang terkait dengan subprime yang juga turut anjlok, lalu semakin meluas pada perusahaan lain yang berhubungan dengan mortgage dan akhirnya menyeret seluruh bidang pada krisis yang sama.

Selain terjadi di pasar modal, krisis juga terjadi di pasar uang karena ‘kertas subprime’ itu diperdagangkan untuk mencari uang. Kita ambil contoh mudah promisory notes seperti ini:

Promisory Notes intinya adalah kertas atau surat yang menyatakan bahwa si penerbit berjanji akan membayar sejumlah uang sesuai dengan yang tertera disurat tersebut pada waktu tertentu (jatuh tempo), yaitu saat surat tersebut diunjukkan (ditagih) oleh pemegang surat -yang dalam hal ini memberikan uang kepada si penerbit surat/membeli surat. Pada saat promisory notes tersebut diperdagangkan, surat sudah berpindah tangan berkali-kali dengan nilai yang menggelembung bahkan berubah bentuk menjadi MBS, CDOs.

Bayangkan transaksi surat tersebut seperti sebuah gedung bertingkat. KPR subprime adalah pondasinya, diikuti oleh lantai tingkat pertama (aset yang disekuritisasi lalu dijual), lalu tingkat kedua (aset hasil sekuritisasi yang disekuritisasi lagi), dst yang dikenal dengan istilah transaksi derivatif. Saat terjadi krisis subprime, berarti seakan-akan pondasi bangunan tersebut telah runtuh. Ibarat peristiwa runtuhnya WTC, secara beruntun lantai-lantai di atasnya akan turut runtuh yang tidak hanya menyeret bank, tapi juga sekuritas, asuransi, bahkan perusahaan-perusahaan lain yang terkait.

Seperti yang disampaikan oleh Abu Umar 2008:
Pengalaman krisis subprime mortgage AS sejak 2007 menyebabkan para “penjudi berdasi” kelas kakap mengalami kerugian hebat. Krisis subprime mortgage AS berdampak pada jatuhnya nilai kapital pasar modal berbasis surat berharga perumahan kelas dua di Amerika sebesar 12% atau US$ 2,4 trilyun (=Rp 22.080 trilyun) dari US$ 20 trilyun menjadi US$ 17,6 trilyun.

Analis pasar modal Paul B. Farrel di situs Market Wacth menulis sebuah artikel sangat menarik dengan judul Derivatives the New ‘Ticking Bomb’. Dalam artikel tersebut, ia mengulang kembali peringatan yang pernah dilontarkan Warren Buffett lima tahun sebelum krisis subprime melanda AS. Warren Buffet menyatakan pertumbuhan transaksi derivatif yang bersifat masif dan tidak terkontrol dapat menjadi “senjata keuangan pemusnah massa” yang sangat berbahaya.

Peringatan Warren Buffet kini menjadi kenyataan pahit bagi negara-negara di dunia. Krisis subprime mortgage AS yang menyebabkan para fund manager raksasa rugi milyaran dollar AS membawa efek domino berupa krisis finansial yang lebih besar dan merembet pada kejatuhan ekonomi di sektor riil akibat melonjaknya harga minyak dan pangan.

Tidak cukup sampai disini.......

Kerugian hebat di bursa saham tidak membuat nyali “perusak ekonomi” dunia turun. Para penjudi raksasa (fund manager) malah mencari sumber-sumber keuntungan baru untuk memuaskan kerakusan mereka. Selanjutnya mereka menjadikan bursa komoditas sebagai permainan spekulasi. Apa saja komoditi yang menjadi incaran? kita lanjutkan di lain waktu.

Selasa, 25 November 2008

ASURANSI, PENDUKUNG 1001 TRANSAKSI

Bank dan sekuritas memiliki fungsi yang berbeda, dan keduanya dapat saling bekerjasama, berkolaborasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Mari kita bahas peranan asuransi, agar bahasan kita disini melibatkan ketiga lembaga tersebut.

Tidak kalah oleh bank dan sekuritas, perusahaan asuransi juga banyak jumlahnya di dunia. AIG misalnya, perusahaan asuransi asal Amerika yang menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Beberapa waktu yang lalu, karena terimbas krisis tahun ini AIG sempat dilarikan ke ruang UGD kemudian di rawat di ICU untuk dilakukan tindakan penyelamatan (di bailout) oleh pemerintah Amerika yang mencapai ratusan miliar dollar.

Perusahaan keuangan yang besar, biasanya mempunyai perusahaan sekuritas dan asuransinya sendiri. Misalnya untuk bank sebesar Bank Mandiri, ia memiliki sekuritas dan asuransinya sendiri yaitu Mandiri Sekuritas dan AXA Mandiri. Hal tersebut dilakukan agar peluang bisnis yang saling menguntungkan satu sama lain dapat diserap oleh grup usahanya sendiri, daripada diambil oleh orang lain, menguntungkan orang lain, dan membuat orang lain menjadi gemuk.

Betapa tidak, peluang bisnis yang bisa ditangkap asuransi di bank dan sekuritas sangat banyak jumlahnya dan sebagian besar hampir berulang setiap tahun (repeat order). Untuk kredit pemilikan kendaraan saja, ambil contoh kredit motor, bank tidak ingin motor yang dicicil oleh nasabahnya itu hilang atau rusak. Bagi bank motor tersebut juga berfungsi sebagai jaminan, sehingga bank berkepentingan untuk menjaganya.

Lain lagi dengan kredit pemilikan rumah, karena umumnya kredit rumah jumlahnya cukup besar dan bersifat jangka panjang, selain rumah sebagai jaminan yang diasuransikan dari kebakaran dll, si nasabah juga diwajibkan membayar premi untuk asuransi jiwa. Jika dalam perjalanannya si nasabah meninggal dunia, maka asuransi akan membayar/melunasi sisa hutang si nasabah ke bank.

Untuk kredit kendaraan dan rumah saja sudah banyak peluang bisnis asuransi, apalagi jika kreditnya lebih besar seperti yang terkait dengan mesin, pabrik, alat-alat berat (dozer, dump truck, reach stacker, top loader, dll), kapal, dan pesawat terbang yang harganya bisa mencapai puluhan juta dollar. Tentu resikonya semakin besar, sehingga bank memerlukan proteksi yang lebih besar, yang artinya peluang yang lebih besar lagi untuk asuransi.

Bahkan tidak hanya jaminan atau barang-barang yang dibiayai oleh bank saja yang diasuransikan tetapi penyaluran kreditnya sendiri juga dapat diasuransikan. Di Indonesia setidaknya ada tiga lembaga penjaminan kredit milik Pemerintah, yaitu PT Asuransi Kredit Indonesia atau disingkat Askrindo, PT Asuransi Ekspor Indonesia yang dikenal dengan ASEI, dan Perum Sarana yang lebih ke segmen kredit UMKM.

Apabila dibutuhkan/diperlukan bank bisa saja meminta penjaminan kredit dari perusahaan asuransi. Apabila dalam perjalanannya terjadi default (kredit macet) bank akan meng-claim kerugian kredit tersebut dan mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi.

Belum cukup sampai disitu, surat-surat berharga yang berbasis kredit/surat hutang juga menjadi peluang pasar bagi perusahaan asuransi. Saat suatu perusahaan disekuritisasi akan bermunculan peluang baru bagi asuransi. Begitu pula dalam portofolio investasi, biasanya para broker dan investor tidak melepaskan aktivitasnya dari asuransi.

Nah dari siklus bisnis yang saling terkait satu sama lain antara bank, sekuritas, dan asuransi bagai mata rantai yang berputar, terjadinya gangguan di satu sisi akan berimbas kepada sisi lainnya.

Konon kabarnya, penyebab krisis dunia saat ini yaitu subprime mortgage dipicu oleh aktivitas bank, sekuritas, dan asuransi yang kebablasan yang terus menerus menggelembungkan asetnya.

Rabu, 19 November 2008

KOLABORASI BANK DAN SEKURITAS

Setelah mengenal bank, sekuritas, dan asuransi, kini saatnya kita membahas kolaborasi antara perusahaan-perusahaan tersebut yang sama-sama bergerak dibidang keuangan.

Kita bahas satu per satu. Dimulai dari kolaborasi antara bank dengan sekuritas.
Saat suatu bank bermaksud mengumpulkan modal dengan cara go public, bank membutuhkan perusahaan sekuritas sebagai underwriter. Saat IPO (initial public offering), untuk pertama kalinya saham bank tersebut dijual ke publik, yang dikenal dengan pasar primer (membeli dari tangan pertama). Para investor yang tertarik untuk membeli saham perdana bank tersebut juga membelinya melalui perusahaan sekuritas. Apabila bank telah terdaftar di bursa lalu dalam perjalanannya sahamnya diperjualbelikan, jual-beli saham tersebut dikenal dengan pasar sekunder.

Seperti halnya proses go public tersebut di atas, bank juga membutuhkan perusahaan sekuritas sebagai underwriter apabila bank bermaksud mencari sumber dana yang bukan dalam bentuk modal, seperti pinjaman jangka panjang (obligasi).

Atas jasa dari perusahaan sekuritas tersebut dalam penerbitan surat berharga atau kita sebut saja dalam meng-sekuritisasi suatu perusahaan baik bank maupun non bank, sekuritas memperoleh uderwriting fee, dan fee-fee lainnya yang jumlahnya woooow..fantastis....
Fee-nya itu biasanya berbentuk prosentase sebagai faktor pengali dari nilai surat berharga yang berhasil diterbitkan dan diserap oleh pasar...ckckck...semakin besar jumlahnya, semakin besar dapetnya...whuiiiif..bayangkan kalo dalam setaun ada beberapa kali proyek kayak gini......subur deh...bisa bikin seorang staff kaya mendadak.....apalagi direkturnya...
Anda tertarik bekerja untuk menjadi underwriter?

Di sisi lain, sekuritas juga membutuhkan bank..saat suatu perusahaan disekuritisasi atau bahkan saat pemerintah menerbitkan obligasi / SUN (Surat Utang Negara), tentu sekuritas akan mencari pasar yang mampu menyerap surat berharga tersebut...

Karena jumlahnya besar, sulit untuk mencari pihak yang punya banyak duit, mungkin banyak yang kaya, tapi untuk duit ‘cash keras’ tidak semua punya..oleh karena itu sekuritas jualan nyari pihak yang pegang cash...dan salah satu pihak yang pegang cash dalam jumlah banyak itu perbankan...
Sekuritas butuh bank biar jualannya laku, soalnya kalo gak laku kan ngaruh juga sama fee yang tadi kita bicarakan itu....hehehe
Kolaborasi antara kedua entitas ini dapat menjadi bagus dan menguntungkan, dapat juga justru menimbulkan kerugian dan kerusakan dikemudian hari. Nanti akan kita singgung, sabar ya..sebentar lagi..
Ini hanyalah sedikit contoh dari kolaborasi bank dengan sekuritas. Selanjutnya akan kita singgung keterkaitan dua entitas ini dengan asuransi.

ASURANSI..YANG PASTI-PASTI AJA DEEH

Pada minggu kemarin, kita telah membahas mengenai bank dan perusahaan sekuritas. Mungkin ada baiknya sebelum melangkah lebih jauh, dibahas sedikit mengenai perusahaan asuransi agar ke depan dapat dikupas keterkaitan antara bank, sekuritas, dan asuransi.

Apa itu asuransi? Menurut bahasa orang awan sih, asuransi itu terjemahan dari bahasa inggris: insurance. Insurance sendiri memiliki akar kata insure dan ensure. Sehinga asuransi itu adalah produk keuangan yang fungsinya to insure/ensure yang artinya untuk memastikan, menyakinkan, dan menjamin para pihak yang menjadi pengguna produk tersebut.

Apa yang ingin dipastikan, diyakinkan, atau dijamin oleh asuransi? Jawabannya: masa depan!

Mengapa masa depan mesti dipastikan, diyakinkan, atau dijamin? Karena manusia tidak dapat mengontrol masa depannya, dia tidak tahu dia akan sehat atau sakit, kaya atau miskin, kapan dimana dan dalam kondisi seperti apa dia mati, dsb.

Apa saja yang dicoba untuk dipastikan?
Banyak sekali, tentunya segala sesuatu yang berkaitan dengan ketidakpastian masa depan. Antara lain: kehidupan (sampai kapan usia hidup), kesehatan (berobat, kedokter, ke rumah sakit biaya mahal), harta benda (tempat tinggal, kendaraan, pabrik, mesin, peralatan), pendidikan (anak-anak perlu sekolah, biayanya juga makin mahal), keamanan (kebongkaran, kecurian rumah atau tempat dagang), bencana (kebakaran, banjir, gempa bumi), dll.

Karena ketidakpastian masa depan itu lahir lah produk-produk asuransi seperti, asuransi jiwa (life insurance), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kendaraan (all risk, total loss only / TLO), asuransi kapal (marine insurance), asuransi perdagangan (jika barang rusak/dicuri saat dalam proses pengiriman atau disimpan digudang), asuransi pembangunan/proyek (construction all risk), bahkan asuransi penjaminan kredit (jika kredit macet / default, pihak asuransi yang akan menanggung).

Walaupun saat ini sudah beragam produknya, tidak menutup kemungkinan produknya akan semakin bertambah di masa yang akan datang, tergantung dari sejeli dan secerdik apa para pakar product development melihat sesuatu yang berpeluang untuk dipastikan di masa depan. Bukan begitu?

Jika kita perhatikan baik-baik sedikit saja, kita akan menyadari bahwa produk-produk asuransi itu fungsinya akan selalu bermuara sebagai bentuk proteksi terhadap sesuatu yang dikhawatirkan menimbulkan kerugian di masa depan.

Bagaimana caranya hal tersebut bisa dipastikan/diproteksi? Dengan cara mengeluarkan uang (membayar premi) yang sedikit untuk memproteksi diri, harta, dll sebagaimana disebutkan tadi dari kerusakan/kerugian material yang lebih besar.

Misalnya:
Takut mobil yang harganya 150 juta dicuri orang (apalagi mobil mewah), jadi mending bayar premi 1-2 juta per tahun, keamanan mobil itu selama 1 tahun bisa dipastikan. Kalau ternyata dicuri orang gak rugi mesti beli lagi.

Begitu pula kalau takut mobilnya ditabrak, atau nabrak, digores orang. Berapa biaya nge-cat, biaya ke bengkel, dll. Cukup dengan membayar premi keselamatan mobil itu bisa dipastikan.

Atau karena takut sakit lalu tidak mampu membiayai, membayar obat, dokter, RS, dll sedangkan gaji pas-pasan. Lebih baik beli produk health insurance, preminya dibayar tiap bulan untuk jaga-jaga kalau sakit ada asuransi yang akan menanggung biayanya.

Dan masih banyak lagi contohnya.

Nah, logikanya bagaimana seseorang atau suatu lembaga sampai-sampai dia bisa-bisanya berani menjamin atau membayar ganti rugi dalam nilai tertentu yang jumlah materialnya besar bahkan mungkin sangat besar kepada pihak yang hanya membayar premi dengan nilai yang gak seberapa?

Tentu pihak asuransi gak akan berani berbuat hal itu kalau memang bisnis yang satu ini tidak menguntungkan. Dari premi yang dibayar oleh para pengguna asuransi, perusahaan mendapatkan sejumlah dana terkumpul dan jumlahnya terus terakumulasi, baik karena bertambahnya pengguna maupun karena frekuensi pembayaran premi yang rutin dari setiap pengguna. Dana itulah yang kemudian akan dikelola oleh perusahaan untuk menghasilkan laba. Bisa melalui money market, forex, saham, surat berharga, deposito di bank, dll.

Tentu pihak asuransi punya itung-itungan tersendiri mengenai hal itu. Termasuk memperhitungkan kerugian berupa: dari sekian banyak customernya berapa yang akan claim atau meminta ganti rugi. Tentu dari 1 juta orang yang membayar premi kesehatan tidak semuanya akan sakit parah. Dari sekian juta mobil yang diasuransikan tidak semuanya akan tabrakan, atau dicuri, dll.

Mudah-mudahan penjelasan awam ini bisa membantu anda memahami bisnis asuransi.

Ada juga anekdot yang menyebutkan bahwa asuransi, adalah sesuatu yang membuat sulit disaat kita mudah dan membuat mudah disaat kita sulit. Ada juga yang berkata asuransi, dalam hal ini asuransi jiwa, adalah sesuatu produk yang membuat kita miskin disaat hidup dan membuat kita kaya disaat mati...
miskin karena saat hidup sebagian penghasilannya berkurang untuk membayar premi bahkan hidup menjadi serba pas-pasan, menjadi kaya saat mati karena asuransi akan membayar sejumlah tententu sesuai nilai pertanggungan. Jadi buat apa kaya kalau sudah mati?
Hehehehe just kidding !

Tak heran jika banyak pihak yang nakal, yang membakar pabriknya sendiri, yang menenggelamkan kapalnya sendiri di laut, bahkan yang sampai tega membunuh pasangannya, demi hanya untuk memperoleh harta dengan jalan pintas dari ganti rugi yang dibayar asuransi. Atau hanya sekedar ingin agar premi yang amat mahal yang telah dikelurkannya selama bertahun-tahun dapat kembali lagi.

Terlepas dari semua itu, asuransi adalah produk yang diperlukan di zaman ini, dan bersifat netral. Tergantung dari seperti apa prinsip yang digunakan, bagaimana dikelola, dan diterapkan.

Selasa, 11 November 2008

BANK LEMBAGA INTERMEDIASI

Sebelumnya kita telah membahas tentang perusahaan sekuritas dengan fungsinya sebagai mediator transaksi surat berharga. Sekarang kita bahas lembaga keuangan lainnya yang mungkin lebih sering kita dengar sehingga kita pun lebih mengenalnya daripada perusahaan sekuritas.

Lembaga keuangan lain yang mempunyai fungsi penting dalam perekonomian adalah bank. Pada intinya bank adalah lembaga intermediasi yang berfungsi menyerap dana dari masyarakat untuk disalurkan kembali kepada masyarakat. Bank ibarat jembatan penghubung antara pemilik dana dengan yang membutuhkan dana di sektor riil baik untuk keperluan konsumtif maupun produktif. Dengan adanya lembaga intermediasi ini diharapkan roda perekonomian bisa berjalan.

Apabila disederhanakan, fungsi bank dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Flow anak panah menunjukkan flow dana. Walaupun bisa saja bagan dibuat terbalik, namun dalam contoh ini aliran dana dibuat dari kanan ke kiri (dengan maksud tertentu untuk menjelaskan sesuatu saat kita sampai pada bahasan neraca). Dana dari masyarakat terserap bank dalam berbagai macam produk seperti giro (untuk keperluan transaksi usaha), tabungan, dan deposito; kemudian bank menyalurkannya dalam bentuk kredit (kovensional) atau pembiayaan (syariah) seperti untuk pemilikan rumah, kendaraan, modal kerja, dan investasi.

Sudah tentu menyimpan uang di bank lebih aman daripada menyimpannya di rumah karena bank memiliki infrastruktur pendukung yang lengkap. Disamping itu cukup mudah untuk menarik uang kita kembali apabila terdapat suatu kebutuhan, dan oleh karena itu bank menyediakan layanan lain dalam bentuk jasa keuangan seperti transfer, pembayaran listrik & telepon, pembelian pulsa, pelunasan kartu kredit, phone banking, dan internet banking.

Konsep itu saja yang perlu dipegang untuk memahami bank. Dana disebalah kanan, penyaluran dana disebelah kiri. Adanya ketidakseimbangan atau tidak berfungsinya salah satu sisi akan merusak fungsi intermediasi bank.

Di sebelah kanan, tanpa adanya dana yang masuk, bank tak akan mungkin dapat menyalurkan kredit/pembiayaan. Atau apabila terjadi rush (penarikan dana secara masal) seperti di saat krisis 1998 dan krisis 2008 ini, maka bank menjadi tidak likuid karena dana tersebut masih tertanam dalam bentuk pembiayaan, sehingga dibutuhkan tindakan penyelamatan (bailout) seperti yang dilakukan negara-negara barat untuk penyelamatan likuiditas dan penjaminan dari pemerintah setempat agar tidak terjadi kepanikan yang menimbulkan rush dana yang lebih besar oleh masyarakat.

Di sebelah kiri, tanpa adanya penyaluran kredit/pembiayaan bank akan mati, karena dari keuntungan penyaluran dana-lah bank hidup, dari situ-lah bank berbisnis. Apabila terjadi kesalahan dalam penyaluran dana, misalnya hingga menjadi macet, maka kemampuan pengembalian uang masyarakat yang disimpan di bank tersebut akan terganggu.

Pahamilah konsep ini, maka anda akan mengerti apakah bank tempat anda menyimpan dana sekarang ini sudah menjalankan fungsinya dengan baik atau belum. Bagaimana bank berkolaborasi dengan perusahaan sekuritas? Kita lanjutkan nanti.

PERUSAHAAN SEKURITAS

Melanjutkan bahasan tentang kertas, mengapa kertas itu bisa menjadi begitu berharga? Tentu tidak terlepas dari peranan perusahaan sekuritas. Bagi kita orang awam, sekuritas disini sama sekali tidak terkait dengan perusahaan yang menyediakan jasa/layanan keamanan (satpam dll), namun perusahaan yang menjalankan usaha yang terkait dengan surat-surat berharga baik sebagai agen, broker, arranger, dan pengurusan/penyediaan/perdagangan produk investasi dan keuangan lainnya.

Securities company sangat banyak jumlahnya antara lain Mandiri Sekuritas, BNI Sekuritas, Danareksa Sekuritas, AAA Securities, Trimegah Securities, CIMB Securities, Mizuho Securities, Mitsubishi UFJ Securities, American Securities, Batasa Capital, Batasa Tazkia, dll.

Bagi perusahaan yang membutuhkan dana/pinjaman dalam bentuk obligasi, MTN (Medium Term Notes atau surat utang jangka menengah) bisa menggunakan jasa perusahaan sekuritas. Atau perusahaan yang membutuhkan modal untuk mendanai usahanya dengan menjadi perusahaan terbuka, securities company dapat membantu proses hingga perusahaan tersebut go public.

Bagi para investor/pemilik dana, perusahaan sekuritas dapat bertindak sebagai pialang/agen untuk saham-saham yang diperdagangkan. Bisa juga berfungsi sebagai fund manager atau sebagai kustodian (custody).

Singkat kata, perusahaan sekuritas terkait dengan konversi transaksi di sektor riil ke dalam bentuk surat berharga (instrumen keuangan).

Perlu diingat bahwa surat berharga hanyalah instrumen keuangan yang netral. Begitu pula dengan perusahaan sekuritas pada dasarnya bersifat netral. Yang membuat suatu pengaruh terhadap perdagangan surat berharga adalah prinsip dan praktek seperti apa yang diterapkan terkait dengan aktivitas surat berharga tersebut.

Dalam Islamic Finance perdagangan surat berharga dijaga dari unsur MAGHRIB dan terkait dengan sektor riil karena selalu memiliki underlying transaction. Hal tersebut dengan sendirinya memproteksi terjadinya penggelembungan nilai surat berharga.

Sedangkan yang saat ini terjadi sangat lah jauh berbeda. Transaksi surat berharga dilakukan tanpa terkait dengan sektor riil, diperjualbelikan berulang-ulang, ‘digoreng’ sedemikian rupa sehingga nilai surat berharga naik berlipat-lipat.

Sungguh suatu perkataan yang menyentak hati saya, saat seorang yang terkemuka dibidang reksadana mengatakan bahwa terkadang naik-turunnya nilai surat berharga sudah diatur dan direncanakan oleh pialang-pialang. Memang sangat logis alasan yang dikemukannya, pialang-pialang hidup dari keuntungan memperdagangkan surat berharga. Biar hidup tentu mereka harus untung, biar untung tentu nilainya harus naik, biar naik tentu harus ada transaksi. Agar terjadi transaksi tentu harus ada permintaan (dari pembeli potensial) akan surat berhaga tersebut. Permintaan bisa dibuat oleh mereka-mereka juga. Kertas yang per-lembarnya bernilai 1.000 dijual 1.500, si A untung 500 dan dari situ dia bisa hidup. Lalu B menjualnya ke C seharga 2.000, dengan keuntungan 500 dia bisa beli mobil. Begitu selanjutnya hingga seakan naiknya nilai tersebut hanya langit batasnya. Ironis jika tahu bahwa A, B, dan C merencanakan itu semua yang dikenal dengan istilah 'digoreng bareng-bareng'.

Bagaimana dalam syariah? Tentu semua itu tidak akan terjadi karena menciptakan permintaan semu adalah dilarang...

THE PAPER WORLD..MIMPI KALI YE...


Bayangkan bila dunia tanpa kertas, seperti apakah jadinya? Bayangkan pula, jika seluruh dunia ini dipenuhi oleh kertas.......atau bahkan dunia ini seluruhnya terbuat dari kertas....hmmm.....
Kertas banyak gunanya. Bisa untuk media tulis/cetak, bisa dibuat menjadi pembungkus, bisa dibuat mainan, bisa juga disulap menjadi kerajinan asal Jepang yaitu origami, dll.

Tapi untuk kertas yang satu ini bukan main-main pengaruhnya, karena kertas bisa menentukan maju-mundurnya usaha, untung-ruginya bisnis, bahkan bisa mengguncang dunia dan penentu nasib jutaan orang.

Pertanyaannya kertas yang seperti apa sih, kok kayaknya powerful banget?

Itulah kertas-kertas surat berharga atau dikenal dengan istilah securities. Securities bisa berupa deposito, saham, reksadana, obligasi, promissory notes, draft, insurance bahkan uang kertas juga termasuk ‘kertas’ yang berharga.

Saat kertas-kertas tersebut diperdagangkan tanpa terikat dengan transaksi sebenarnya disektor riil, lalu perlahan tapi pasti pada akhirnya kertas tersebut kembali menjadi tidak berharga, seperti layaknya saat ini guncangan ekonomi kembali menimpa dunia, maka nasib jutaan manusia berada di ujung tanduk.

Roy dan Glyn Davies (1996), dalam buku The History of Money From Ancient Time to Present Day, menguraikan bahwa sepanjang abad 20 ini telah terjadi 20 kali krisis yang melanda banyak negara.. Tercatat bahwa di abad 20 krisis terjadi sejak 1907, 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, 1998-2001, 2008. Jika di rata-rata, berarti kira-kira setiap 5-10 tahun terjadi krisis akibat sistem perekonomian yang dibangun oleh kertas ini.

Jika para aktivis lingkungan hidup -termasuk kita mungkin- telah sekian lama meneriakkan suara hati, telah memprotes begitu banyak hal agar raksasa-raksasa perusahaan kertas (pulp & paper) diawasi secara ketat karena khawatir akan dampak buruknya terhadap lingkungan fisik, karena khawatir akan menggunduli hutan selain Hutan Taman Industri yang dikuasai oleh perusahaan tersebut demi terjaminnya pasokan bahan baku pabrik kertasnya, juga berbagai macam teknologi diulik sedemikian rupa agar dapat memaksimalkan proses daur ulang demi mengurangi dampak buruknya bagi kita; maka mengapa di sisi lain kita semua sampai saat ini hanya diam saja atas buruknya dampak sosial yang dibawa juga oleh 'kertas', padahal dampak kehancurannya bagi kehidupan sosial tidak kalah buruknya dengan kehancuran fisik?

Bangun lah! Sadarlah! Sudah saatnya kita melek finansial, untuk tidak terseret lagi ke situasi krisis seperti ini lagi di masa depan, hanya karena setumpuk kertas.

Senin, 10 November 2008

‘DUMB DONKEY !’ SEBUAH CERITA UNTUK BUBBLE ECONOMY

Mungkin ini bukanlah gambaran yang tepat untuk bubble economy. Ini hanyalah usaha yang dari seorang yang awam untuk bisa menyampaikannya dengan bahasa yang sederhana.

Konon, kuda arabia adalah kuda yang paling gagah dan paling unggul kualitasnya di dunia. Betapa berharganya nilai untuk seekor kuda arabia itu, hingga untuk membelinya saja dibutuhkan beberapa gepok uang seratus dollar Amerika. Itulah memang harga yang pantas untuk seekor kuda arabia.

Namun tatkala kuda itu dihargai melebihi nilai yang seharusnya hingga menjadi segudang uang dollar Amerika, maka sang kuda arabia yang gagah perkasa itu pun merasa malu sendiri..hingga akhirnya berubah menjadi seekor keledai bodoh.....yang hanya bisa menyeringai sebagai reaksinya atas prilaku manusia yang juga bodoh dan ceroboh karena telah menghargainya lebih dari yang seharusnya.....

Lalu saat keledai bodoh itu mengangkut tumpukan uang yang dihargai manusia untuknya, dia tak sanggup lagi menanggung ‘beban’ akibat mahalnya ‘bandrol’ yang disematkan manusia pada dirinya....


Jumat, 07 November 2008

MENGUNGKAP FAKTA WALL STREET VS MAIN STREET




Kembali bermula dari pidato kemenangan yang disampaikan oleh Barack Obama sebagai Presiden AS terplih yang ke-44, dari serangkaian pidato energik dan inspiratifnya Sang Presiden sempat mengucapkan satu kalimat:


“Let us remember that, if this financial crisis taught us anything, it's that we cannot have a thriving Wall Street while Main Street suffers.”

“Mari kita hujamkan dalam ingatan kita bahwa, jika krisis financial (saat) ini mengajarkan kita sesuatu, itu adalah bahwa kita tidak akan dapat menyaksikan Wall Street yang tumbuh subur. maju dan berkembang pesat sedangkan Main Street menderita.”



Berangkat dari situ, saya tertarik untuk sedikit membuka fakta tentang apa yang terjadi dewasa ini antara Wall Street dan Main Street.
Wall Street adalah representasi dari sektor financial/moneter, karena bursa saham dan pusat financial institution terbesar di dunia terletak di Wall Street. Diberi nama Wall yang berarti tembok/dinding, karena saham dan komoditi diperdagangkan dalam bentuk angka-angka atau indeks yang ditulis dalam media seperti papan tulis yang menyerupai dinding, seperti ini:
Sedangkan Main Street adalah representasi dari sektor ril, sektor dimana dunia usaha yang sesungguhnya berjalan. Dari pidatonya tersebut, Presiden Obama ingin mengatakan bahwa krisis dunia ini yang dipicu oleh jatuhnya bursa saham di Wall Street disebabkan karena sektor moneter yang tidak terkait dengan sektor riil. Padahal justru fundamental perekonomian adalah sektor riil.

Saya harap Anda masih ingat dengan contoh jual-beli pisang yang menimbulkan bubble economy. Dalam contoh tersebut nilai transaksi finansialnya mencapai 3x lipat nilai riil. Tahukah kita, seberapa besar gap/kesenjangan antara Wall Street dan Main Street saat ini, hingga akhirnya menjadi pemicu krisis keuangan global?

Sebab utama krisis bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter [sistem uang kertas, lembaga keuangan ribawi yang menjalankan bisnisnya dengan prinsip bunga, pasar modal (capital market), pasar uang (money market), dan valas (forex)] atas sektor riil.

Seperti yang dikutip oleh Buletin Al-Islam Edisi 427, sebelum krisis tahun 1998 dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata mencapai 2-3 triliun dolar per hari nya, atau sebesar 700 triliun dolar dalam setahun.

Di sisi lain, arus perdagangan barang internasional dalam satu tahun hanya berkisar sekitar 7 triliun dollar. Artinya arus uang 100x lebih besar dari arus barang (republika, 18/8/2000), atau dengan kata lain penggelembungan nilai transaksi ‘kertas’ telah mencapai 100x dari nilai sebenarnya.

Selain itu, besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia mencapai 1,5 trilun dolar per hari. Sementara besaran transaksi perdagangan dunia di sektor riil hanya mencapai 1% dari nilai tersebut. [Agustianto, 2007]

Belum lagi, uang yang beredar dalam transaksi valas mencapai 1,3 triliun dolar dalam setahun [Kompas September 2007].

Seluruh data tersebut menunjukkan bahwa perkembangan sektor keuangan sangat cepat dan menggelembung melejit meninggalkan nilai sebenarnya di sektor riil, sehingga menimbulkan pertumbuhan semu di atas kertas dan bubble economy.

Tak heran jika contoh transaksi yang menggelembung hanya 3x lipat saja bisa membawa bencana, apalagi jika sudah mencapai 700x lipat.

Menerapkan prinsip-prinsip dalam Islamic Finance sebagai solusi sudah waktunya dilakukan, oleh siapapun dia, terlepas dari sistem nilai apa yang dianutnya karena prinsip-prinsip tersebut bersifat universal.

Perombakan besar-besaran di sektor keuangan adalah tugas berat, terutama dengan mengubah paradigma yang telah lama tertanam. Sebagai mana pidato Barack Obama:

“The road ahead will be long. Our climb will be steep. We may not get there in one year or even in one term.’

“Jalan yang terbentang di depan kita masih panjang. (Jalan) yang kita panjat akan curam. Kita tidak akan bisa mencapainya dalam waktu satu tahun atau satu periode sekalipun.”