Masih ingat dengan contoh pisang yang diperdagangkan? Pisang itu disulap menjadi kertas, lalu kertas itu diperdagangkan hingga nilai kertas menggelembung berkali-kali lipat melebihi nilai pisang itu sendiri. Bahkan seringkali hanya kertas itu saja yang diperdagangkan tanpa terkait dengan objek yang diperdagangkan.
Pada kenyataannya pisang itu tidak berubah wujud sehingga tidak memiliki nilai tambah yang dapat menjadi penyeimbang atau “lawan” bagi naiknya nilai kertas. Suatu saat kertas itu hancur dengan sendirinya, tidak lagi akan bernilai dan menimbulkan efek kerugian berantai yang jauh lebih besar lagi bagi para pihak yang terlibat dalam memperdagangkannya.
Berbeda dengan trading secara konvensional tersebut di atas, trading secara syariah harus memenuhi 5 syarat yaitu adanya pembeli, barang, penjual, harga, dan ijab-qabul. Salah satu saja dari kelima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi akan menjadi batal.
Sesungguhnya 5 hal tersebut dipersyaratkan bukan dengan maksud lain selain untuk melindungi transaksi dan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi dari kerusakan yang dibawa oleh bubble effect. Persyaratan tersebut dengan jelas mencerminkan keberpihakan syariah terhadap sektor riil, dalam arti bahwa secara syariah transaksi finansial (kertas) tidak bisa berjalan sendirian, namun harus selalu terikat dengan sektor riil. Oleh karena itu tidak akan ada dualisme antara dua sektor tersebut, namun yang ada adalah keduanya berjalan beriringan.
Jadi...sebenarnya...tidaklah dilarang bertransaksi surat berharga, sepanjang terdapat underlying transaction (transaksi di sektor riil) yang terkandung di dalamnya. Bukan pula tidak bisa atau tidak mungkin di dalam syariah nilai suatu surat berharga untuk naik, yang tidak boleh adalah naiknya nilai kertas yang semu karena tidak memiliki transaksi penyeimbang di sektor riil.
Maaf bila terkesan dijelaskan berulang-ulang, karena hal ini sangat penting dan fundamental yang menjadi karakteristik atau ciri khas dan pembeda (furqan) antara transaksi syariah dengan transaksi konvensional di berbagai macam variasi produknya. Mudah-mudahkan ke depan, dengan semakin banyak pembahasan dalam blog ini tentang produk-produk syariah, semakin menunjukkan bahwa transaksi syariah selalu memiliki underlying transaction.
Contoh-contoh sederhana dibawah ini mudah-mudahan dapat menjelaskan letak perbedaannya dengan contoh sebelumnya yang berupa jual-beli pisang yang menjadi bubble effect.
Pisang dijual oleh A di Cianjur kepada B di Bandung. A membelinya dari petani Rp.3.000/kg dan menjualnya kepada B Rp.5.000/kg. Kenaikan sebesar Rp.2.000/kg diperbolehkan sebagai laba yang diperoleh A. Sebagai “lawannya” atau sebagai transaksi penyeimbang, pisang itu dikirimkan oleh A dari Cianjur ke Bandung.
Pada kenyataannya pisang itu tidak berubah wujud sehingga tidak memiliki nilai tambah yang dapat menjadi penyeimbang atau “lawan” bagi naiknya nilai kertas. Suatu saat kertas itu hancur dengan sendirinya, tidak lagi akan bernilai dan menimbulkan efek kerugian berantai yang jauh lebih besar lagi bagi para pihak yang terlibat dalam memperdagangkannya.
Berbeda dengan trading secara konvensional tersebut di atas, trading secara syariah harus memenuhi 5 syarat yaitu adanya pembeli, barang, penjual, harga, dan ijab-qabul. Salah satu saja dari kelima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka transaksi akan menjadi batal.
Sesungguhnya 5 hal tersebut dipersyaratkan bukan dengan maksud lain selain untuk melindungi transaksi dan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi dari kerusakan yang dibawa oleh bubble effect. Persyaratan tersebut dengan jelas mencerminkan keberpihakan syariah terhadap sektor riil, dalam arti bahwa secara syariah transaksi finansial (kertas) tidak bisa berjalan sendirian, namun harus selalu terikat dengan sektor riil. Oleh karena itu tidak akan ada dualisme antara dua sektor tersebut, namun yang ada adalah keduanya berjalan beriringan.
Jadi...sebenarnya...tidaklah dilarang bertransaksi surat berharga, sepanjang terdapat underlying transaction (transaksi di sektor riil) yang terkandung di dalamnya. Bukan pula tidak bisa atau tidak mungkin di dalam syariah nilai suatu surat berharga untuk naik, yang tidak boleh adalah naiknya nilai kertas yang semu karena tidak memiliki transaksi penyeimbang di sektor riil.
Maaf bila terkesan dijelaskan berulang-ulang, karena hal ini sangat penting dan fundamental yang menjadi karakteristik atau ciri khas dan pembeda (furqan) antara transaksi syariah dengan transaksi konvensional di berbagai macam variasi produknya. Mudah-mudahkan ke depan, dengan semakin banyak pembahasan dalam blog ini tentang produk-produk syariah, semakin menunjukkan bahwa transaksi syariah selalu memiliki underlying transaction.
Contoh-contoh sederhana dibawah ini mudah-mudahan dapat menjelaskan letak perbedaannya dengan contoh sebelumnya yang berupa jual-beli pisang yang menjadi bubble effect.
Pisang dijual oleh A di Cianjur kepada B di Bandung. A membelinya dari petani Rp.3.000/kg dan menjualnya kepada B Rp.5.000/kg. Kenaikan sebesar Rp.2.000/kg diperbolehkan sebagai laba yang diperoleh A. Sebagai “lawannya” atau sebagai transaksi penyeimbang, pisang itu dikirimkan oleh A dari Cianjur ke Bandung.
Implikasi dari transaksi tersebut tidak berhenti di sini, dan inilah yang menjadi faktor pembeda dari sekedar transaksi kertas belaka. Untuk menghantarkan pisang itu dari kota asal ke kota tujuan butuh transportasi. Sehingga akan muncul peluang usaha untuk jasa transportasi baik untuk pihak lain maupun untuk A dan B sendiri (jika A mengantarkan pisangnya ke Bandung atau B yang mengambilnya ke Cianjur).
Jasa transportasi membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang menjadi mata pencaharian bagi pihak lain, mininal butuh sopir ama kenek-nya lah.
Transportasi juga membutuhkan kendaraan, katakanlah mobil pengangkut pick-up atau truk, sehingga mendorong adanya produsen pembuat kendaraan yang menyerap tenaga kerja. Produsen tidak selamanya membuat spare-part sendiri, seringkali spare-part diproduksi oleh fabrikan lain yang menciptakan potensi bisnis baru. Para produsen spare-part membutuhkan material seperti slab steel, spring/pegas, komponen elektronik, dll yang menggerakan industri baja dan elektronik sebagai pemasok. Industri baja membutuhkan iron ore atau besi scarp sebagai bahan baku pembuatan slab steel sehingga menggerakkan sektor pertambangan.
Agar kendaraan bisa jalan ia butuh bahan bakar sehingga menggerakkan industri migas, juga butuh ban sehingga dibutuhkan adanya rubber industry. Rubber industry butuh bahan baku berupa getah karet yang dipasok dari kebun-kebun karet yang memberi berkah bagi para petani karet maupun perkebunan-perkebunan besar.
Contohnya sama-sama pisang, yang satu diperjualbelikan sebagai surat berharga hingga menggelembung yang ‘tampaknya menguntungkan‘ secara financial, tanpa memberikan implikasi apapun bagi sektor riil, tercipta pertumbuhan semu, padahal pisang tadi tetaplah pisang bahkan mungkin tidak pernah ada pisang yang diperjualbelikan, semua hanyalah kertas.
Sedangkan yang lain memberikan efek yang berbeda yang menjadi penggerak roda sektor riil agar terus berjalan. Hanya dari segi transportasi untuk keperluan mengangkut pisang dari Cianjur ke Bandung saja, sudah banyak berkah yang ditebarkan bagi sektor lain untuk turut bergerak bersamanya, dan semua itu bermula dari sebuah transaksi kecil yang hanya memiliki spread Rp.2.000/kg. Inilah yang dimaksud dengan multiplier effect, efek domino yang berlipat-lipat.
Contoh di atas baru membahas transportasi untuk memindahkan objek yang diperjualbelikan, belum membahas perubahan wujud dari objek yang memberikan nilai tambah. Misalnya saat singkong diolah menjadi kripik singkong, tentu butuh mengolahan dari mulai dicuci, dikupas, diris, digoreng, dan diberi bumbu. Belum lagi packaging, distribusi, transportasi dll yang semua itu memberi nilai tambah dari sekedar singkong menjadi kripik singkong, apalagi jika membutuhkan pengolahan yang lebih canggih seperti mengolah singkong menjadi biodiesel yang menjadikannya lebih bernilai jual, dan memberikan multiplier effect yang kurang lebih sama penjelasannya seperti contoh pisang di atas.
Sejak lebih dari 14 abad yang lalu Al-Qur'an telah mensinyalir perbedaan besar dalam dua jenis transaksi ini, riba vs jual beli, transaksi (hanya) kertas vs transaksi riil:
Contoh di atas baru membahas transportasi untuk memindahkan objek yang diperjualbelikan, belum membahas perubahan wujud dari objek yang memberikan nilai tambah. Misalnya saat singkong diolah menjadi kripik singkong, tentu butuh mengolahan dari mulai dicuci, dikupas, diris, digoreng, dan diberi bumbu. Belum lagi packaging, distribusi, transportasi dll yang semua itu memberi nilai tambah dari sekedar singkong menjadi kripik singkong, apalagi jika membutuhkan pengolahan yang lebih canggih seperti mengolah singkong menjadi biodiesel yang menjadikannya lebih bernilai jual, dan memberikan multiplier effect yang kurang lebih sama penjelasannya seperti contoh pisang di atas.
Sejak lebih dari 14 abad yang lalu Al-Qur'an telah mensinyalir perbedaan besar dalam dua jenis transaksi ini, riba vs jual beli, transaksi (hanya) kertas vs transaksi riil:
Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..dst... [Al-Baqarah: 275]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar