Melanjutkan bahasan tentang petro dollar yang berlimpah di Timur Tengah, juga syarat bahwa pemilik dana tidak ingin dananya dikelola kecuali sesuai prinsip syariah, sudah barang tentu dengan jelas memperlihatkan potensi dari islamic finance di dunia pasca runtuhnya komunisme dan kapitalisme.
Disaat negara-negara barat kesulitan likuiditas, Timur Tengah adem ayem dengan pundi-pundi petro dollarnya. Terkait dengan pekerjaan saya sebagai seorang sharia bankers, beberapa hari berselang saya bertemu dengan para perwakilan dari sebuah islamic financial institution (lembaga keuangan yang menjalankan bisnisnya berdasarkan prinsip syariah) dari Timur Tengah, tepatnya dari Dubai. Saya terheran-heran tatkala krisis seperti ini ditengah perbankan konvensional yang berusaha mencari sumber atau pinjaman uang untuk memenuhi likuiditas, mereka malah ‘setengah’ memohon agar dana dalam dollar yang dapat dikategorikan besar itu dapat dikelola di Indonesia melalui perusahaan tempat saya bekerja.
Saat itu, sejenak saya merasa terhenyak dan berfikir:
Berhentilah memandang ke dunia barat, sudah saat nya kita semua ‘melek syariah’ !
Sudah saatnya kita semua belajar tentang ekonomi syariah!
Sudah saatnya kita semua berpartisipasi dan turut ambil bagian sesuai dengan porsi kita masing-masing!
Sudah saatnya kita optimalkan potensi islamic finance yang besar ini khususnya di Indonesia!
Wajar jika perwakilan dari islamic financial institution yang saya sebutkan di atas sangat ingin agar dana mereka dapat masuk ke sistem perbankan syariah di Indonesia. Sangatlah logis saya rasa karena:
(1) Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim,
(2) bahkan Indonesia merupakan the largest muslim country in the world, sehingga pasar untuk islamic finance terbentang luas.
(3) Negara kita kaya akan resources baik migas, maupun non-migas.
(4) tingkat return dari bisnis/proyek terkait di atas lebih kompetitif dibandingkan tingkat return di negara-negara maju.
Bayangkan jika perbankan syariah di tanah air yang tentunya di prakarsai Pemerintah berhasil membawa masuk sebagian (kecil) saja dari petro dollar itu ke Indonesia; lalu dana tersebut dikelola dengan sistem syariah untuk membiayai proyek-proyek strategis seperti migas, pertambangan, infrastruktur, pembangkit listrik, telekomunikasi, perkebunan, perikanan, perkapalan, dll. Dalam bayangan saya jika itu terjadi, kondisi negara kita insyaAllah dapat menjadi lebih baik.
Ambil contoh, Pemerintah sudah mencanangkan crash-program di bidang kelistrikan dengan menambah total kapasitas PLTU sebesar 10.000 MW. Saat ini biaya paling murah untuk membangun PLTU adalah ~ $1,5 juta/MW. Sehingga butuh dana $15 miliar untuk merealisasikan program tersebut yang tentu tidak seluruhnya dibiayai APBN.
Dengan skema syariah, Pemerintah dapat menerbitkan sukuk (surat berharga syariah) untuk membiayai proyek tersebut baik sukuk ijarah/sewa-beli maupun sukuk murabahah/jual-beli. Manfaatnya Jakarta akan terbebas dari pemadaman bergilir begitu juga dengan kota-kota besar lainnya, khususnya untuk saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan yang notabene adalah daerah sumber migas dan batubara (ironis memang). Supply listrik bagi dunia industri lebih terjamin sehingga juga akan menarik para investor untuk masuk ke Indonesia, bahkan kelebihan listrik (jika ada) dengan interkoneksi bisa dijual ke negara tetanga seperti Singapura dan Malaysia. Secara agregat, proyek tersebut juga dapat menghemat pengeluaran negara untuk listrik karena beralih dari PLTD (diesel fuel) menjadi PLTU (coal) yang ongkos per kwh-nya bisa terpangkas separuhnya.
Begitu pula untuk proyek-proyek di bidang lainnya, seperti di bidang migas dengan membangun oil refinery (yang sampai saat ini tidak mencukupi dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari) agar Indonesia dapat mengolah minyak mentahnya sendiri dan tidak perlu repot-repot menghabiskan duit untuk mengimpor minyak olahan (solar, premium, dll). Dengan oil refinery suatu saat Indonesia dapat menjadi net-exporter untuk migas dan menambah cadangan devisa.
Belum lagi potensi perkapalan yang dapat dibiayai dengan skema syariah. Tanker, cargo, bulk, chemical, tug & barges, crew boat, AHTS, dll yang potensinya begitu besar dan selama ini belum tergali. Padahal telah dikeluarkan Inpres No.5 untuk menerapkan asas cabotage, dimana kapal-kapal yang beroperasi di Indonesia wajib berbendera Indonesia. OPEX (operationg expenditure) atau budget yang dikeluarkan oleh perusahaan minyak dan batubara yang beroperasi di Indonesia untuk kebutuhan kapal bisa mencapai ratusan juta dollar per tahunnya. Jumlah tersebut selama ini dikuasai oleh kapal-kapal asing begitu pula dollarnya dibawa pergi ke negaranya. Sudah saatnya anak bangsa menguasai perkapalan dalam negeri, bukankah nenek moyangku seorang pelaut?
Disaat negara-negara barat kesulitan likuiditas, Timur Tengah adem ayem dengan pundi-pundi petro dollarnya. Terkait dengan pekerjaan saya sebagai seorang sharia bankers, beberapa hari berselang saya bertemu dengan para perwakilan dari sebuah islamic financial institution (lembaga keuangan yang menjalankan bisnisnya berdasarkan prinsip syariah) dari Timur Tengah, tepatnya dari Dubai. Saya terheran-heran tatkala krisis seperti ini ditengah perbankan konvensional yang berusaha mencari sumber atau pinjaman uang untuk memenuhi likuiditas, mereka malah ‘setengah’ memohon agar dana dalam dollar yang dapat dikategorikan besar itu dapat dikelola di Indonesia melalui perusahaan tempat saya bekerja.
Saat itu, sejenak saya merasa terhenyak dan berfikir:
Berhentilah memandang ke dunia barat, sudah saat nya kita semua ‘melek syariah’ !
Sudah saatnya kita semua belajar tentang ekonomi syariah!
Sudah saatnya kita semua berpartisipasi dan turut ambil bagian sesuai dengan porsi kita masing-masing!
Sudah saatnya kita optimalkan potensi islamic finance yang besar ini khususnya di Indonesia!
Wajar jika perwakilan dari islamic financial institution yang saya sebutkan di atas sangat ingin agar dana mereka dapat masuk ke sistem perbankan syariah di Indonesia. Sangatlah logis saya rasa karena:
(1) Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim,
(2) bahkan Indonesia merupakan the largest muslim country in the world, sehingga pasar untuk islamic finance terbentang luas.
(3) Negara kita kaya akan resources baik migas, maupun non-migas.
(4) tingkat return dari bisnis/proyek terkait di atas lebih kompetitif dibandingkan tingkat return di negara-negara maju.
Bayangkan jika perbankan syariah di tanah air yang tentunya di prakarsai Pemerintah berhasil membawa masuk sebagian (kecil) saja dari petro dollar itu ke Indonesia; lalu dana tersebut dikelola dengan sistem syariah untuk membiayai proyek-proyek strategis seperti migas, pertambangan, infrastruktur, pembangkit listrik, telekomunikasi, perkebunan, perikanan, perkapalan, dll. Dalam bayangan saya jika itu terjadi, kondisi negara kita insyaAllah dapat menjadi lebih baik.
Ambil contoh, Pemerintah sudah mencanangkan crash-program di bidang kelistrikan dengan menambah total kapasitas PLTU sebesar 10.000 MW. Saat ini biaya paling murah untuk membangun PLTU adalah ~ $1,5 juta/MW. Sehingga butuh dana $15 miliar untuk merealisasikan program tersebut yang tentu tidak seluruhnya dibiayai APBN.
Dengan skema syariah, Pemerintah dapat menerbitkan sukuk (surat berharga syariah) untuk membiayai proyek tersebut baik sukuk ijarah/sewa-beli maupun sukuk murabahah/jual-beli. Manfaatnya Jakarta akan terbebas dari pemadaman bergilir begitu juga dengan kota-kota besar lainnya, khususnya untuk saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan yang notabene adalah daerah sumber migas dan batubara (ironis memang). Supply listrik bagi dunia industri lebih terjamin sehingga juga akan menarik para investor untuk masuk ke Indonesia, bahkan kelebihan listrik (jika ada) dengan interkoneksi bisa dijual ke negara tetanga seperti Singapura dan Malaysia. Secara agregat, proyek tersebut juga dapat menghemat pengeluaran negara untuk listrik karena beralih dari PLTD (diesel fuel) menjadi PLTU (coal) yang ongkos per kwh-nya bisa terpangkas separuhnya.
Begitu pula untuk proyek-proyek di bidang lainnya, seperti di bidang migas dengan membangun oil refinery (yang sampai saat ini tidak mencukupi dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari) agar Indonesia dapat mengolah minyak mentahnya sendiri dan tidak perlu repot-repot menghabiskan duit untuk mengimpor minyak olahan (solar, premium, dll). Dengan oil refinery suatu saat Indonesia dapat menjadi net-exporter untuk migas dan menambah cadangan devisa.
Belum lagi potensi perkapalan yang dapat dibiayai dengan skema syariah. Tanker, cargo, bulk, chemical, tug & barges, crew boat, AHTS, dll yang potensinya begitu besar dan selama ini belum tergali. Padahal telah dikeluarkan Inpres No.5 untuk menerapkan asas cabotage, dimana kapal-kapal yang beroperasi di Indonesia wajib berbendera Indonesia. OPEX (operationg expenditure) atau budget yang dikeluarkan oleh perusahaan minyak dan batubara yang beroperasi di Indonesia untuk kebutuhan kapal bisa mencapai ratusan juta dollar per tahunnya. Jumlah tersebut selama ini dikuasai oleh kapal-kapal asing begitu pula dollarnya dibawa pergi ke negaranya. Sudah saatnya anak bangsa menguasai perkapalan dalam negeri, bukankah nenek moyangku seorang pelaut?
Menengok khususnya ke Sumatera , terbentang luas perkebunan kelapa sawit. Saat ini Indonesia berhasil menjadi ekportir terbesar minyak sawit/CPO (crude palm oil) di dunia, yang sebelumnya kita nomor dua setelah Malaysia. Ironisnya, CPO tersebut diimpor oleh negara-negara lain untuk diolah menjadi produk turunan seperti olein, stearin, menjadi bahan baku pembuatan sabun, minyak goreng, mentega, kosmetik, dll yang kemudian kita impor kembali ke dalam negeri dengan harga yang jauh lebih mahal. Bayangkan seandainya dengan skim syariah dan dana petro dollar Indonesia membangun tidak hanya PKS (Pabrik Kelapa Sawit) tapi ditingkatkan menjadi industri oleo-chemical, sehingga kita tidak hanya menghasilkan CPO tapi juga dapat membuat added value menjadi produk-produk turunannya sehingga harganya jauh lebih mahal.
Disamping itu semua, dan ini hal yang tidak bisa diukur dengan materi adalah bahwa negara kita bisa mulai membebaskan diri dari ketergantungan terhadap negara barat, baik secara finansial, diplomatik, maupun politik; tidak kah kita merasa lelah untuk selalu di-dikte dan menjadi pengikut mereka? serta membuat policy yang menguntungkan dan mengamankan kepentingan mereka namun menghimpit dan menyiksa raykat kecil?
Memang sih tidak semudah itu untuk mencapainya, tapi semua itu mungkin dilakukan. Seperti yang dilantunkan Nidji di soundtrack Laskar Pelangi :
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar