Memang tudingan itu ada benarnya, bahwa jatuhnya subprime adalah pemicu awal dari krisis saat ini. Namun kurang tepat juga jika semua kesalahan ditimpakan pada subprime, karena tanpa adanya peran serta pasar uang dan pasar modal dalam penggelembungan nilai dari surat-surat berharga yang berhubungan dengan subprime tentu krisis ini tidak akan menjalar dan berkepanjangan.
Seperti isi tulisan di awal mula blog ini, penyebab utama krisis adalah karena rapuhnya sistem ekonomi dunia saat ini yang didominasi oleh kapitalis. Perekonomian saat ini lebih banyak digerakkan oleh transaksi financial ketimbang transaksi riil yang melahirkan virtual economy menurut Peter Drucker (1980) atau bubble economy dalam istilah Paul Krugman (1999). Tapi karena topik kita kali ini adalah subprime yang memang benar menjadi pemicu krisis ini, sayang kalo bahasan tentang subprime sendiri dilewatkan begitu saja.
Berhubung keterbatasan waktu, memang cukup sulit bagi saya utuk menulis dengan konten yang banyak dalam satu waktu, akhirnya terpaksa dipecah-pecah menjadi topik-topik kecil. Yang sudah kita bahas kemarin adalah peranan bank, sekuritas, dan asuransi. Telah dibahas juga mengenai bubble effect / bubble economy dan begitu rapuhnya praktek di pasar modal yang dipenuhi oleh maisir, gharar, dan riba yang membuat harga komoditi dan indeks menjadi sangat volatile.
Nah, jika disepertikan bahwa bahasan-bahasan tersebut sebagai lingkaran, bahasan yang satu ini ibarat irisan dari semua lingkaran itu karena melibatkan bank, sekuritas, asuransi, pasar uang dan pasar modal.
Dalam bahasa awam mortgage bisa diartikan sebagai kredit properti yang jaminannya adalah properti itu sendiri. Singkat kata, mortgage itu kredit perumahan (KPR). Istilah prime menunjukkan kualitas dari suatu KPR yang diberikan kepada nasabah yang mampu mencicil, membayar, dan melunasi KPRnya dilihat dari beberapa parameter seperti jumlah penghasilan yang memadai, punya pekerjaan tetap, memiliki jabatan, bahkan memiliki track record yang baik di bank dalam pembayaran kreditnya selama ini.
Jadi mudahnya, subprime (dibawah prime) adalah KPR yang diberikan kepada peminjam yang tidak memiliki kapasitas membayar tersebut di atas, sehingga bank pemberi KPR subprime memiliki resiko gagal bayar yang lebih besar. Misalnya adalah KPR yang diberikan kepada buruh, pekerja tidak tetap, dan masyarakat yang hidup pas-pasan.
Karena resiko subprime lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan bank kepada peminjam juga lebih tinggi dari prime mortgage. Bayangkan, apakah ini tidak terbalik? Orang-orang kaya/mampu membayar kepada bank lebih murah sedangkan orang-orang yang hidup pas-pasan harus membayar hutang dengan bunga yang lebih tinggi dari orang-orang kaya itu ?!?!
Bukankah seharusnya negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap warganya yang salah satunya adalah papan (tempat tinggal)? Bukankah seharusnya orang-orang yang lemah itu disubsidi? Bukan malah dibebani dengan beban yang lebih besar?
Kalau Indonesia tidak ingin terjangkit penyakit karena subprime, hal ini juga yang harus dicermati oleh Pemerintah kita dalam menyediakan tempat tinggal bagi warganya khususnya bagi golongan menengah ke bawah. Sejauh ini walaupun dirasakan masih kurang karena banyaknya WNI yang belum memiliki tempat tinggal, sepertinya dan mudah-mudahan selalu begitu, Pemerintah cukup serius dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan tempat tinggal bagi warganya seperti melalui program penyediaan RSS, apartemen bersubsidi, dll yang disalurkan dan dikelola oleh bank pemerintah.
Kembali ke topik, pertanyaannya sekarang jika memang beban bunga bagi peminjam subprime lebih tinggi mengapa mereka mampu membayarnya? Bahkan secara industri, KPR subprime ini memiliki pertumbuhan yang baik sejak 2004-2006 dengan meningkatnya eksposur kredit yang dikucurkan oleh bank bagi sektor tersebut?
Penyebabnya adalah, skema kredit subprime yang dimodifikasi agar memiliki nilai jual dari segi marketing (biar laku). Salah satunya adalah pengaturan beban bunga dimana 2 tahun pertama kredit dikenakan bunga yang sangat rendah, namun mulai di tahun ke-3 mungkin sampai 28 tahun berikutnya dikenakan bunga yang melonjak tinggi.
Dengan iming-iming bunga rendah selama 2 tahun pertama masyarakat kelas bawah serasa diberi angin segar. Setelah sekian lama sulitnya ingin punya rumah dan pengajuan kreditnya ditolak terus-menerus, ternyata ada suatu produk yang memberikan secercah harapan. Akhirnya masyarakat berbondong-bondong mengambil fasilitas subprime ini, karena bayangan manis di 2 tahun pertama mengalahkan adanya potensi pukulan pahit di 28 tahun berikutnya.
Hal ini juga yang menyebabkan grafik pertumbuhan subprime meningkat dari tahun ke tahun. Tak heran bila mortgage terus meningkat, semakin banyak rumah dibangun. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank terus meningkat sehingga pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat meningkat pesat (housing booming).
Di sisi lain, suku bunga bank sentral Amerika juga rendah. Dalam kondisi suku bunga yang rendah sementara harga properti terus naik, para pemberi KPR subprime seolah lupa akan adanya resiko gagal bayar dari peminjam.
Justru yang ada malah sebaliknya, subprime disulap menjadi produk keuangan yang menarik, disekuritisasi oleh berbagai perusahaan sekuritas, diasuransikan. Lalu dijual oleh bank ke bank lain dalam money market (pasar uang). Lalu disekuritisasi lagi, dijual kembali dalam bentuk surat berharga, hingga nilai transaksi menjadi menggelembung karena dilakukan berkali-kali sementara nilai tansaksi riilnya tidak berubah.
Proses sekuritisasi yang mengubah ‘wujud’ subprime ke dalam bentuk surat berharga mencapai beberapa tingkatan. Dari mulai sebagai surat hutang biasa (promisory notes yang dijual), lalu disekuritisasi menjadi MBS (Mortgage-Backed Securitites), lalu di beberapa MBS ini disekuritiasi lagi menjadi CDOs (Collateralized Debt Obligations). Apapun istilahnya, semuanya itu hanyalah kertas yang nilainya menggelembung. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, hedge funds, reksa dana (mutual funds), dll baik di Amerika maupun ke negara lain.
Seperti dijelaskan di atas bahwa karena grafik pertumbuhan subprime yang meningkat diiringi juga dengan boomingnya sektor properti dengan menjamurnya perumahan-perumahan baru di Amerika, justru semakin membuat ‘kertas subprime’ hasil sekuritisasi menjadi pilihan yang menarik untuk berinvestasi. Kertas tersebut semakin laku dijual, semakin diminati, banyak dicari orang, dan semakin mahal harganya.
Lalu, pertanyaannya adalah: bagaimana kondisi para peminjam subprime setelah tahun ke-3?
Karena adanya 'diskon' bunga yang sangat rendah yang diberikan di dua tahun pertama, sudah tentu tidak akan ada kapitalis yang ingin rugi dan memberikan 'diskon cuma-cuma'. Sebagai kompensasi, bunga mulai tahun ketiga menjadi floating, dan melonjak naik begitu saja.
Karena bunga naik drastis cicilan rumah juga semakin besar dan dirasakan sangat berat oleh para peminjam subprime. Pada akhirnya sebagian besar peminjam itu default, tidak mampu membayar kewajibannya kepada bank pemberi KPR. Ditambah lagi kondisi sektor riil di Amerika yang mengalami resesi membuat banyak perusahaan melakukan PHK. Gelombang PHK membuat jutaan orang kehilangan pekerjaannya, termasuk buruh dan para pekerja yang menjadi peminjam subprime. Walhasil, para korban PHK tidak mampu membayar kewajibannya dan secara keseluruhan eksposur subprime yang default semakin besar.
Banyaknya pinjaman yang macet berdampak pada bank pemberi subprime. Salah satu yang terbesar adalah Lehman Brothers. Bank investasi ini mengalami kerugian besar akibat krisis subprime mortgage. Pada laporan keuangan kuartal kedua tahun 2008, Lehman melaporkan kerugian 2,8 miliar dollar AS. Selain itu, mereka harus menjual paksa aset bernilai 6 miliar dollar AS dan pada akhirnya secara resmi Lehman mengumunkan diri pailit alias bankrut.
Krisis subprime menyebabkan harga saham Lehman di bursa terus menurun. Lalu merembet ke saham-saham perusahaan lain yang terkait dengan subprime yang juga turut anjlok, lalu semakin meluas pada perusahaan lain yang berhubungan dengan mortgage dan akhirnya menyeret seluruh bidang pada krisis yang sama.
Selain terjadi di pasar modal, krisis juga terjadi di pasar uang karena ‘kertas subprime’ itu diperdagangkan untuk mencari uang. Kita ambil contoh mudah promisory notes seperti ini:
Promisory Notes intinya adalah kertas atau surat yang menyatakan bahwa si penerbit berjanji akan membayar sejumlah uang sesuai dengan yang tertera disurat tersebut pada waktu tertentu (jatuh tempo), yaitu saat surat tersebut diunjukkan (ditagih) oleh pemegang surat -yang dalam hal ini memberikan uang kepada si penerbit surat/membeli surat. Pada saat promisory notes tersebut diperdagangkan, surat sudah berpindah tangan berkali-kali dengan nilai yang menggelembung bahkan berubah bentuk menjadi MBS, CDOs.
Bayangkan transaksi surat tersebut seperti sebuah gedung bertingkat. KPR subprime adalah pondasinya, diikuti oleh lantai tingkat pertama (aset yang disekuritisasi lalu dijual), lalu tingkat kedua (aset hasil sekuritisasi yang disekuritisasi lagi), dst yang dikenal dengan istilah transaksi derivatif. Saat terjadi krisis subprime, berarti seakan-akan pondasi bangunan tersebut telah runtuh. Ibarat peristiwa runtuhnya WTC, secara beruntun lantai-lantai di atasnya akan turut runtuh yang tidak hanya menyeret bank, tapi juga sekuritas, asuransi, bahkan perusahaan-perusahaan lain yang terkait.
Seperti yang disampaikan oleh Abu Umar 2008:
Pengalaman krisis subprime mortgage AS sejak 2007 menyebabkan para “penjudi berdasi” kelas kakap mengalami kerugian hebat. Krisis subprime mortgage AS berdampak pada jatuhnya nilai kapital pasar modal berbasis surat berharga perumahan kelas dua di Amerika sebesar 12% atau US$ 2,4 trilyun (=Rp 22.080 trilyun) dari US$ 20 trilyun menjadi US$ 17,6 trilyun.
Analis pasar modal Paul B. Farrel di situs Market Wacth menulis sebuah artikel sangat menarik dengan judul Derivatives the New ‘Ticking Bomb’. Dalam artikel tersebut, ia mengulang kembali peringatan yang pernah dilontarkan Warren Buffett lima tahun sebelum krisis subprime melanda AS. Warren Buffet menyatakan pertumbuhan transaksi derivatif yang bersifat masif dan tidak terkontrol dapat menjadi “senjata keuangan pemusnah massa” yang sangat berbahaya.
Peringatan Warren Buffet kini menjadi kenyataan pahit bagi negara-negara di dunia. Krisis subprime mortgage AS yang menyebabkan para fund manager raksasa rugi milyaran dollar AS membawa efek domino berupa krisis finansial yang lebih besar dan merembet pada kejatuhan ekonomi di sektor riil akibat melonjaknya harga minyak dan pangan.
Tidak cukup sampai disini.......
Kerugian hebat di bursa saham tidak membuat nyali “perusak ekonomi” dunia turun. Para penjudi raksasa (fund manager) malah mencari sumber-sumber keuntungan baru untuk memuaskan kerakusan mereka. Selanjutnya mereka menjadikan bursa komoditas sebagai permainan spekulasi. Apa saja komoditi yang menjadi incaran? kita lanjutkan di lain waktu.